Agen Sorax Sadap Latex – Sorax Sachet – Agen Sorax - Jual Sorax Perangsang Getah Karet Harga Murah

Bibit Sawit Berputar

Bibit Sawit Berputar

Bibit Sawit Berputar

Bibit dengan pertumbuhan memutar yang tidak balik. Kelainan ini dapat disebabkan kelalahan kultur teknis atau juga kelainan genetis. Bibit harus diafkir

.

.

.

.

.

.

.

http://agronominet.blogspot.com/2009/05/kelainan-kelapa-sawit-pada-saat.html

Daftar Bacaan Tentang Sawit Dan Informasi Menarik Lainnya :

Daun Bibit Sawit Tidak Membuka

bibit daun kelapa sawit tidak membuka

bibit daun kelapa sawit tidak membuka

Bibit dengan daun membuka tidak sempurna meruapkan salah satu kelainan genetis. Ujung anak daun lengket satu sama lainnya. Konidis bibit ini tidak akan pulih. Bibit harus diafkir.

.

.

.

.

.

.

http://agronominet.blogspot.com/2009/05/kelainan-kelapa-sawit-pada-saat.html

Daftar Bacaan Tentang Sawit Dan Informasi Menarik Lainnya :

Merek-merek Insektisida atau Pestisida yang Beredar di Masyarakat Petani

Insektisida / Pestisida :

Berikut ini adalah merek-merek insektisida atau pestisida yang biasa beredar dan ditemukan di masyarakat Petani :

Merek Insektisida/Pestisida

Harga

Curacron 200 ml / 250 ml / 500 ml

Decis 50 ml / 100 ml

Lannate 15 gr / 100 gr / 500 gr

Polydor 100 ml / 500 ml

Regent Obat  Semut/rayap 250 ml
  Rp 70.000
Sevin 100 ml / 500 ml

No

Nama Pestisida

Bentuk formulasi

Bahan aktif

Jenis pestisida

8

Alphatech

240/5 SL

IPA Glifosat 240g/l + Metil metsulfuron 20%, 25g/l

herbisida

1

Dry Up

480 SL

Isopropil amina glifosat 480 g/l

Herbisida

6

Explore

250 EC

Difenokonazol 250g/l

fungisida

4

Folicur

25 WP

Tebukonazol 25%

fungisida

3

Konup

480 SL

Isopropilamina glifosat 480g/l

herbisida

7

Nativo

75 WG

Trifloksistrobin 25% dan tebukonazol 50%

Fungisida dan bakterisida

5

Primaxone

276 SL

Parakuat diklorida 276g/l

herbisida

2

Revus Opti

440 SC

Mandipropamid 40g/l, klorotalonil

Bakterisida dan fungisida

Berita/Artikel Menarik Lainnya  :

Meningkatkan Praktik Manajemen Inovatif di Sektor Kelapa Sawit Indonesia

Industri kelapa sawit Indonesia sedang mengalami perubahan yang mendasar dalam pandangannya terhadap konsep keberlanjutan, yang tadinya dianggap biaya tambahan menjadi sumber inovasi dan bernilai untuk citra perusahaan. Untuk mempercepat dan memperluas transformasi ini, beberapa halangan dan hambatan perlu diatasi. 

Kampanye di tingkat nasional dan internasional menciptakan tuntutan yang luar biasa bagi produsen kelapa sawit untuk menangani dampak sosial dan lingkungan yang sering menimbulkan konflik antara perusahaan, komunitas setempat, dan masyarakat luas. Perusahaan merespon tuntutan ini, seperti terlihat dari semakin banyaknya pelaku usaha yang menjadikan mitigasi dampak sebagai inti strategi investasi dan perencanaan operasional mereka. Sebagian inovasi ini disoroti dalam studi Daemeter Consulting berjudul Praktik Pengelolaan Terbaik di Industri Kelapa Sawit Indonesia: Studi Kasus dan topik ini akan dibahas di Forests Asia Summit 2014 yang diadakan tanggal 5-6 Mei di Hotel Shangri-La di Jakarta. 

Ada beberapa hambatan besar yang harus diatasi untuk meningkatkan penerapan praktik-praktik ini di seluruh industri. 

Hambatan pertama adalah lambatnya laju informasi mengenai praktik-praktik inovatif di sektor ini, yang menciptakan kesenjangan di antara pihak-pihak yang memiliki sumber daya untuk berinovasi dan perusahaan-perusahaan lain. Hambatan ini muncul karena adanya kompetisi di dunia usaha dan keengganan perusahaan untuk menggembar-gemborkan kesuksesan karena takut dijadikan target oleh pihak-pihak lain. Jaringan pembelajaran yang terstruktur baik yang dapat mempercepat penyebaran informasi di semua tingkat pelaku industri sangat diperlukan untuk menjembatani kesenjangan ini. 

Tantangan terkait lainnya adalah kurangnya sumber daya manusia untuk menerapkan praktik-praktik baru di perkebunan karena perusahaan sulit menarik dan mempertahankan pegawai dengan keahlian yang diperlukan. Diperlukan upaya bersama untuk melatih kembali staf yang ada dan mendidik tenaga kerja baru dengan keahlian pengelolaan lingkungan dan pelibatan masyarakat. Pusat pelatihan keberlanjutan, seperti Cargill Tropical Palm Learning Academy di Kalimantan Barat, mulai berkembang dan perlu diperluas lagi dengan dukungan dari semua pemangku kepentingan.

Halangan lain adalah bagaimana perusahaan kelapa sawit di Indonesia memiliki kebebasan untuk mendefinisikan visi keberlanjutan mereka dan cara mencapainya. Hal ini merupakan tantangan ketika pemimpin perusahaan hanya menjadikan aturan hukum sebagai target keberlanjutan, namun bisa menjadi kesempatan untuk membentuk kebijakan dengan mempengaruhi sejumlah kecil orang di tampuk kepemimpinan. Jika para pembuat keputusan dapat diyakinkan bahwa diperlukan lebih banyak upaya untuk memenuhi tuntutan publik terkait isu keberlanjutan daripada sekedar memenuhi aturan hukum, maka pintu menuju target yang cukup ambisius akan terbuka. Para pemangku kepentingan perlu mengembangkan program-program untuk memberanikan para pimpinan perusahaan untuk mengadopsi keberlanjutan sebagai prinsip utama dan membuat perubahan di operasi mereka. 

Halangan ketiga terkait dengan tantangan yang dihadapi pemerintah daerah dalam menjaga keseimbangan antara peran mereka sebagai pembuat aturan di satu sisi dan pendorong pembangunan dan pendapatan pajak di sisi lain. Dalam kondisi seperti ini, pelaku usaha yang buruk mungkin akan ditoleransi karena membawa investasi, sementara pelaku yang bertanggung jawab menghadapi kesulitan memenuhi komitmen keberlanjutan yang dipandang menghambat pertumbuhan, seperti menyisihkan hutan untuk konservasi dan tidak membukanya menjadi perkebunan. 

Tantangan tata kelola semacam ini di daerah perlu ditangani sebelum inovasi konservasi dapat ditingkatkan dengan signifikan. Pendekatan berdasarkan daerah yurisdiksi, dan bukan melalui perusahaan semata, berpotensi menjadi solusi, tetapi hanya akan berhasil jika pemerintah daerah mendapatkan insentif yang tepat untuk mendukung keberlanjutan. 

Hambatan terakhir yang merupakan penghalang utama transformasi industri secara keseluruhan adalah peraturan dan rencana tata ruang yang bertentangan yang sangat membatasi pengembangan kelapa sawit di lahan kritis. Banyak lahan rendah karbon tersebar di Indonesia, tetapi sebagian besar tidak dapat dikembangkan sebagai perkebunan kelapa sawit karena terhambat batasan rencana tata ruang. Peraturan yang berlaku saat ini juga sangat menyulitkan perusahaan untuk mempertahankan wewenang mereka di lahan-lahan yang tidak dikembangkan dalam wilayah ijin mereka, walaupun lahan-lahan tersebut sengaja disisihkan untuk mengurangi deforestasi dan melindungi habitat penting. Peraturan semacam ini diakui sebagai hambatan besar pengembangan kelapa sawit berdampak rendah oleh banyak pihak, bahkan dalam pemerintah, dan perlu menjadi prioritas untuk direformasi. 

Sumber : Kompas

Hama Kumbang Badak (Oryctes rhinoceros)

Manurut (Zaini, 1991 ) Klasifkasi hama Oryctes rhinoceros ini adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Class : Insecta
Ordo : Coleoptera
Family : Scarabaeidae
Genus : Oryctes
Species : Oryctes rhinoceros L.

Kumbang tanduk (Coleoptera: Scarabaeidae) merupakan hama yang utama menyerang tanaman kelapa sawit di Indonesia, khususnya di areal peremajaan kelapa sawit. O. rhinoceros menggerek pucuk kelapa sawit yang mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan dan rusaknya titik tumbuh sehingga mematikan tanaman (Susanto dan Utomo, 2005)

Kumbang ini berukuran 40-50 mm, berwarna coklat kehitaman, pada bagian kepala terdapat tanduk kecil. Pada ujung perut yang betina terdapat bulu-bulu halus, sedang pada yang jantan tidak berbulu. Kumbang menggerek pupus yang belum terbuka mulai dari pangkal pelepah, terutama pada tanaman muda diareal peremajaan (Purba. 2005).

Kumbang dewasa terbang ke tajuk kelapa pada malam hari dan mulai bergerak ke bagian salah satu ketiak pelepah daun paling atas. Kumbang merusak pelepah daun yang belum terbuka dan dapat menyebabkan pelepah patah. Kerusakan pada tanaman baru terlihat jelas setelah daun membuka 1-2 bulan kemudian berupa guntingan segitiga seperti huruf ”V”. Gejala ini merupakan ciri khas kumbang O. rhinoceros (Purba, dkk. 2008). Serangan hama O. rhinoceros dapat menurunkan produksi tandan buah segar pada panen tahun pertama hingga 60 % dan menimbulkan kematian tanaman muda hingga 25 % (Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 2009)

Oryctes Rhinoceros menyerang tanaman kelapa yang masih muda maupun yang sudah dewasa. Satu serangan kemungkinan bertambah serangan berikutnya. Tanaman tertentu lebih sering diserang. Tanaman yang sama dapat diserang oleh satu atau lebih kumbang sedangkan tanaman di dekatnya mungkin tidak diserang.. Kumbang dewasa terbang ke ucuk pada malam hari, dan mulai bergerak ke bagian dalam melalui salah satu ketiak pelepah bagian atas pucuk. Biasanya ketiak pelepah ketiga, keempat, kelima dari pucuk merupakan tempat masuk yang paling disukai. Setelah kumbang menggerek kedalam batang tanaman, kumbang akan memakan pelepah daun mudah yang sedang berkembang. Karena kumbang memakan daun yang masih terlipat, maka bekas gigitan akan menyebabkan daun seakan-akan tergunting yang baru jelas terlihat setelah daun membuka. Bentuk guntingan ini merupakan ciri khas serangan kumbang kelapa Oryctes (Anonim, 1989)

Berikut ini fase – fase perkembangan mulai dari telur sampai fase dewasa pada kumbang tanduk :

Telur
Mo (1957) dan Anonim (1989), mengemukakan bahwa telur serangga ini berarna putih, bentuknya mula-mula oval, kemudian bulat dengan diameter kurang lebih 3 mm. Telur-telur ini diletakkan oleh serangga betina pada tempat yang baik dan aman (misalnya dalam pohon kelapa yang melapuk), setelah 2 minggu telur-telur ini menetas. Rata-rata fekunditas seekor serangga betina berkisar antara 49-61 butir telur, sedangkan di Australia berkisar 51 butir telur, bahkan dapat mencapai 70 butir (Bedford, 1980).

Larva
Larva yang baru menetas berwarna putih dan setelah dewasa berwarna putih kekuningan, warna bagian ekornya agak gelap dengan panjang 7-10 cm. Larva deasa berukuran panjang 12 mm dengan kepala berwarna merah kecoklatan. Tubuh bagian belakang lebih besar dari bagian depan. Pada permukaan tubuh larva terdapat bulu-bulu pendek dan pada bagian ekor bulu-bulu tersebut tumbuh lebih rapat. Stadium larva 4-5 bulan ( Suhadirman, 1996).

Pupa
Ukuran pupa lebih kecil dari larvanya, kerdil, bertanduk dan berwarna merah kecoklatan dengan panjang 5-8 cm yang terbungkus kokon dari tanah yang berwarna kuning. Stadia ini terdiri atas 2 fase: Fase I : selama 1 bulan, merupakan perubahan bentuk dari larva ke pupa. Fase II : Lamanya 3 minggu, merupakan perubahan bentuk dari pupa menjadi imago, dan masih berdiam dalam kokon (Suhadirman, 1996).

Imago
Kumbang ini berwarna gelap sampai hitam, sebesar biji durian, cembung pada bagian punggung dan bersisi lurus, pada bagian kepala terdapat satu tanduk dan tedapat cekungan dangkal pada permukaan punggung ruas dibelakang kepala (Anonim, 1980).

Kumbang dewasa meninggalkan kokon pada malam hari dan terbang ke atas pohon kelapa, kemudian menyusup kedalam pucuk dan membuat lubang hingga menembus pangkal pelepah daun muda sampai di tengah pucuk dan tinggal pada lubang ini selama 5-10 hari. Bila sore hari, kumbang dewasa mencari pasangan dan kemudian kawin (Suhadirman, 1996). Kumbang ini berwarna gelap sampai hitam, sebesar biji durian, cembung pada bagian punggung dan bersisi lurus, pada bagian kepala terdapat satu tanduk dan tedapat cekungan dangkal pada permukaan punggung ruas dibelakang kepala (Anonim, 1980).

Ekologi
Semua makhluk hidup dalam proses pertumbuhan dan oerkembangannya dipengaruhi oleh sebagai faktor, baik faktor luar maupun dari dalam: Iklim, musuh alami, makanan dan kegiatan manusia merupakan faktor luar yang memberikan pengaruh terhadap kehidupan serangga hama . Lingkungan yang cocok bagi suatu serangga untuk hidup dan berkembang biak meliputi beberapa komponen antara lain makanan, iklim, organisme dari spesies yang sama maupun yang berbeda tempat dimana ia hidup ( Untung, 1993).

Perkembangan larva ini dipengaruhi oleh iklim dan keadaan gizi makanan. Pengaruh faktor-faktor ini ialah pada ukuran larva dan waktu yang diperlukan untuk mematangkan larva. Faktor-faktor fisik yang dipengaruhi perkembangan larva kumbang ini ialah suhu, kelembaban, serta intensitas cahaya. Larva tertarik pada amonia dan aseton, tetapi menghindari asam asetat (Anonim,1980).

Pengendalian kumbang tanduk secara konvensional dilakukan dengan cara pengutipan dan menggunakan insektisida kimiawi. Namun, cara tersebut dinilai tidak efektif dan menimbulkan pencemaran bagi lingkungan. Selain menggunakan pengetahuan dan perilakunya, pengendalian ini juga dapat didukung dengan memanfaatkan musuh-musuh alaminya, Santalus parallelus dan Platymerys laevicollis merupakan predator telur dan larva O. Rhinoceros, sedangkan Agrypnus sp. Merupakan predator larva, beberapa jenis nematoda dan cendawan juga menjadi musuh alami kumbang kelapa. Cara lain yang dapat digunakan yaitu dengan feromon yang dapat digunakan sebagai insektisida alami untuk mengendalikan kumbang tanduk dengan efektif, ramah lingkungan, dan lebih murah dibandingkan dengan pengendalian secara konvensional.

Feromon merupakan bahan yang mengantarkan serangga pada pasangan seksualnya, sekaligus mangsa, tanaman inang, dan tempat berkembang biaknya. Komponen utama feromon sintetis ini adalah etil- 4 metil oktanoat. Penggunaan feromon cukup murah karena biayanya hanya 20% dari biaya penggunaan insektisida dan pengutipan kumbang secara manual. Selain harganya murah, cara aplikasinya di lapangan tidak banyak membutuhkan tenaga kerja. Penggunaan feromon di perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu alternatif yang sangat baik untuk mengendalikan kumbang tanduk. Feromon adalah substansi kimia yang dilepaskan oleh suatu organisme ke lingkungannya yang memampukan organisme tersebut mengadakan komunikasi secara intraspesifik dengan individu lain. Feromon bermanfaat dalam monitoring populasi maupun pengendalian hama (Nation, 2002). Ekstrak feromon kasar dapat diperoleh dengan mengekstrak seluruh tubuh serangga atau hanya kelenjar-kelenjar yang mengandung feromon saja seperti di ujung abdomen untuk serangga dari ordo lepidoptera atau usus bagian belakang dari kumbang kulit kayu (bark beetle) (Ordo Coleoptera). Serangga dari ordo Lepidoptera, feromon diekstrak menggunakan metil klorida. Ekstrak tersebut dapat dianalis dengan menggunakan gas-liquid chromatography (Roelofs, 1995 dalam Jelfina, 2007).

Secara hayati pengendalian O. rhinoceros dapat dilakukan dengan menggunakan M. Anisopliae dan Baculovirus oryctes (Untung, 2001)

Selain menggunakan feromon juga menggunakan insektisida butiran Marshal. Aplikasi Marshal 5 GR dengan bahan aktif Karbosulfan 5% dilakukan pada tanaman muda dengan interval 2 bulan sekali. Aplikasi dilakukan pada titik tumbuh tanaman dengan dosis 5 gr / pohon. Hasil aplikasi ini dapat dilihat setelah satu hari aplikasi.

DAFTAR PUSTAKA

Pemeliharaan Kelapa Sawit Tanaman Belum Menghasilkan (TBM)

OM TANI – Tanaman kelapa sawit akan berproduksi optimal tentunya tidak terlepas dari adanya pemeliharaan tanaman yang baik dan benar pada tanaman sudah menghasilkan (TSM) maupun tanaman sebelum menghasilkan (TBM). Tanaman belum menghasilkjan adalah tanaman yang dipelihara sejak bulan pertama penanaman sampai dipanen pada umur 30 – 36 bulan. Pemeliharaan masa tanaman belum menghasilkan merupakan lanjutan dan penyempurnaan dari pekerjaan pembukaan lahan dan persiapan untuk mendapatkan tanaman yang berkualitas prima.. 

Selama masa tanaman belum menghasilkan diperlukan beberapa jenis pekerjaan pemeliharaan yang secara teratur harus dilaksanakan, diantaranya adalah “Penunasan dan Kastrasi”. 

Menunas (Tunas Pasir); Menunas (tunas pasir) adalah pekerjaan memotong daun-daun tua tanaman kelapa sawit yang tidak bermanfaat lagi bagi tanaman. Tanaman muda tidak boleh ditunas sampai umur 15 bulan karena jumlah daun masih < 48 daun. 

Sehubungan dengan itu, penunasan hanya dilakukan dengan memotong daun-daun tua saja yang tidak bermanfaat lagi bagi tanaman,yaitu daun-daun tua yang masih hijau menjelang kering dilihat dari fungsinya sebagai “asimillator” tidak berarti lagi. Selain itu pada daun menjelang kering terjadi transport/pengangkutan zat makanan dari daun tua ke pucuk tanaman, dimana zat-zat makanan itu dipergunakan untuk pertumbuhan bagian lain, terutama unsur yang mobil seperti Kalium (K) dan Mangan (Mn). 

Tujuan menunas pada tanaman belum menghasilkan turutama untuk sanitasi/kebersihan pohon. Peralatan yang diperlukan dalam menunas adalah “Chicel” berukuran 5 cm – 7,5 cm. Pekerjaan penunasan ada 3 jenis, yaitu : 

1. Penunasan Pendahuluan, dilakukan 6 bulan sebelum tanaman dimutasikan masuk menjadi tanaman menghasilkan.

2. Penunasan periodik, dilakukan pada tanaman menghasilkan dengan rotasi/pergiliran yang ditentukan.

3. Penunasan panen dilakukan sekaligus pada saat panen. Kadang-kadang 1 daun – 2 daun samping dari daun penyangga yang ditunas sebelum tandannya dipotong. 

Alat-alat yang digunakan untuk pekerjaan penunasan ini tergantung pada cara penunasan, bisa berupa dosos, kampak dan bisa juga egrek. Agar rotasi tunasan dapat terpenuhi, sebaiknya dibuat rencana penunasan setiap bulan. Penunasan dilakukan pada waktu panen rendah karena saat itu daun yang tidak menyangga tandan lebih banyak 

Kastrasi (Ablasi) ; Kastrasi adalah pemotongan atau pengebiran bunga jantan dan bunga betina yang masih muda pada tahap pembungaan awal yaitu pada tanaman belum menghasilkan, yaitu pada umur 14 – 20 bulan. Pemotongan bunga berlangsung selama 10 bulan – 12 bulan dengan rotasi/pergiliran satu bulan sekali sebelum panen perdana/pertama. Hal ini dilakukan karena bunga muda umumnya masih kecil dan belum sempurna, sering gugur atau aborsi, bunga seperti ini tidak menguntungkan bila dipertahankan. Kastrasi dapat dimulai jika 25 % dari tanaman telah berbunga. 

Keuntungan yang diperoleh dengan adanya kastrasi adalah :

1. Merangsang pertumbuhan vegetatif dan menghemat penggunaan unsur hara dan air, terutama di daerah yang memiliki musim kering panjang.

2. Mendapatkan buah buah dengan berat/tandan yang relatif seragam

3. Memperoleh kondisi tanaman yang bersih sehingga akan mengurangi kemungkinan adanya serangan hama dan penyakit, antara lain ulat Tirathaba, tikus, tupai dan jamur Marasmius.

4. Kastrasi yang diikuti dengan penyerbukan bantuan pada panen pertama akan menghasilkan tandan yang lebih sempurna dan lebih berat, sekaligus meningkatkan kapasitas panen. 

Kastrasi dapat dilakukan dengan memotong bunga yang baru keluar dari ketiak pelepah daun sebelum membesar. Alat potongnya bisa menggunakan chisel,yaitu alat seperti linggis (dodos) yang pada ujungnya berkait. Bunga yang telah terpotong dengan linggis khusus ini kemudian ditarik lurus dengan kait. 

Cara memotongnya, bunga dipotong tanpa melukai batang kelapa sawit dan pangkal pelepah daun. Rotasi (pergiliran) kastrasi dilakukan sekali sebulan sehingga bunga yang keluar belum banyak menyerap unsur hara dar tanaman tersebut. Dalam melaksanakan kastrasi harus dijaga agar pelepah daun tidak terluka atau terpotong. Tandan bunga yang dipotong dikumpulkan ke dalam karung goni dan dipendam dalam tanah

Jenis Tanaman Hijauan Sebagai Pakan Ternak

Bahan pakan adalah sesuatu yang dapat dimakan oleh ternak, dicerna dan diserap baik sebagian maupun seluruhnya tanpa menimbulkan keracunan pada ternak yang bersangkutan. Bahan pakan dapat berasal dari tumbuh-tumbuhan maupun dari hewan. Ternak ruminansia lebih memerlukan bahan pakan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, sedangkan ternak non-ruminansia memerlukan bahan pakan baik dari tumbuh-tumbuhan maupun hewan. Hijauan yang biasa digunakan sebagai pakan pada usaha peternakan rakyat di pedesaan adalah rumput lapangan dan limbah pertanian seperti jerami padi, jerami jagung, jerami kedelai, jerami sorghum, daun ubi jalar, daun ubi kayu, dan pucuk tebu. Demikian juga dengan pakan penguat yang biasa digunakan antara lain jagung, dedak halus, bungkil kacang tanah, bungkil kelapa, dan lain-lain. 

Berdasarkan kandungan serat kasarnya, bahan makanan ternak dapat dibagi ke dalam dua golongan yaitu bahan penguat (konsentrat) dan hijauan. Konsentrat dapat berasal dari bahan pangan atau dari tanaman seperti serealia (misalnya jagung, padi, atau gandum), kacang-kacangan (misalnya kacang hijau, kacang tanah, dan kacang kedelai), umbi-umbian (misalnya ubi kayu dan ubi jalar), buah-buahan (misalnya kelapa kopra dan kelapa sawit). Konsentrat dapat juga berasal dari hewan seperti tepung daging, tepung tulang dan tepung ikan. Di samping itu, konsentrat dapat juga berasal dari industri kimia seperti protein sel tunggal, limbah atau hasil ikutan dari pangan seperti dedak padi dan pollard, hasil proses ekstraksi seperti bungkil kelapa dan bungkil kedelai, limbah pemotongan hewan seperti tepung darah dan tepung bulu serta limbah dari proses fermentasi seperti ampas bir. 

Bahan Pakan Lokal Pada dasarnya kandungan yang terdapat dalam pakan ternak dapat dibagi menjadi 6 (enam) golongan yaitu: air, karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral. Energi sebagai unsur yang vital yang mendukung kehidupan ternak diperoleh dari: 23,5% karbohidrat, 53% lemak, dan 23,5% protein. Sumber energi dapat diperoleh dari jagung kuning, katul, tapioka, sagu, pollard (wheat bran), minyak nabati, minyak hewani, dan lain-lain. 

Sumber protein nabati bisa diperoleh dari bungkil kedelai/soya bean meal (SBM), corn glutten meal (CGM), bungkil kelapa, bungkil kacang tanah, ampas kecap, biji kapuk, dan lain-lain. Sumber protein hewani bisa diperoleh dari meat bone meal, poultry by product meal, tepung ikan, dan lain-lain. Sumber mineral dapat diperoleh dari tepung tulang, tepung kerang, tepung kepala udang, garam, dan lain-lain. Sumber vitamin dan lainnya bisa diperoleh dari tepung daun, premix/feed additive, asam amino sintetik, pemacu pertumbuhan (growth promotor) koksidiostat, anti jamur, antitoxin, antioksidan, perekat, pigmen, flavor, dan lain-lain. Additive, asam amino sintetik, pemacu pertumbuhan, koksidiostat, anti jamur, antitoxin, antioksidan, perekat, pigmen, flavor. 

Hijauan Pakan Ternak 

Hijauan adalah makanan utama (sumber energi dan protein) bagi ternak ruminansia yang terdiri dari dua macam yakni rumput-rumputan (energi) dan leguminosa (protein). Pada batas tertentu leguminosa dapat diberikan pada monogastrik. Kandungan nutrisinya berfluktuasi menurut spesies, lingkungan, dan cara budidaya. Terdapat beberapa jenis rumput yang umum digunakan antara lain:

Guinea grass, green panic (Panicum Maximum Jacq) yang dikenal dengan nama rumput Benggala atau suket londo. Rumput ini berasal dari Afrika dan tersebar ke Asia, Australia, dan Eropa. Rumput yang memiliki palatabilitas yang sangat baik ini memiliki protein kasar yang bervariasi antara 4-14% dan serat kasar sekitar 28-36%. Kandungan pospor dalam rumput ini umumnya sudah mencukupi kebutuhan ruminansia. 

Rumput Benggala dapat membentuk rumpun dengan tinggi mencapai 1,25 m tergantung varietasnya. Rumput ini cocok untuk dataran rendah dan dataran tinggi (1.700 m dpl) dengan curah hujan 600-1800 mm/th. Pada ketinggian di atas 1400 m dpl, rumput ini tidak dapat berbunga. Namun, jenis ini masih dapat tumbuh pada tanah dengan solum tipis dan berbatu, tahan terhadap naungan dan kekeringan serta dapat tumbuh baik pada pH tanah 5-8. Hijauan segar ini bisa mencapai 100-150 t/ha/th. Dengan produksi berat segar 100 sampai 150 ton/ha/th (satu kali pemotongan interval 45 hari adalah 12.5-18.75 to) berarti dapat mencukupi kebutuhan ternak sebanyak kurang lebih 9-13 ekor sapi dengan berat badan 300 kg. Budidaya jenis ini dapat dilakukan dengan biji dan pols, bisa juga dengan stek batang. Jarak tanam 60 x 60 m atau disesuaikan dengan kondisi tanah. Pemanenan pertama umur 90 hari setelah tanam. Interval panen pada musim hujan 30-40 hari dan musim kemarau 50-60 hari. Tinggi pemotongan sebaiknya 5-10 cm dari permukaan tanah. 

Elephant Grass, Napier Grass (Pennisetum Purpureum Schumach). 

Di Indonesia, rumput ini dikenal dengan nama rumput gajah. Jenis ini berasal dari Afrika daerah tengah dan tersebar luas di seluruh wilayah tropis. Jenis ini masuk ke Indonesia dari Afrika pada akhir masa penjajahan Belanda sejak tahun 1926. Di Indonesia, mula-mula disebarkan di daerah peternakan sapi perah seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Namun, sekarang sudah tersebar pula di wilayah peternakan sapi potong. Rumput ini merupakan hijauan yang populer karena produktivitasnya cukup tinggi. 

Pada rumput muda, bahan keringnya rendah 12-18%, tetapi naik dengan cepat seiring dengan umur. Rumput ini memiliki palabilitas yang cukup baik. Rumput ini tumbuh membentuk rumpun. Perakarannya cukup dalam dengan rhizoma atau rimpang pendek. Pada umur 4-5 tahun, kumpulan batang di bagian bawah membentuk bonggol sehingga perlu diremajakan. Batangnya tegak, berbuku, dan keras bila sudah tua. Tinggi tanamannya bisa mencapai 1,8 sampai 4,5 m tergantung pada kultivasinya dengan diameter batang 3 cm. 

Di Afrika dilaporkan bisa mencapai tinggi 7 m. Sebaliknya, di Amerika dikenal juga rumput gajah kerdil (Kultivar Mott) tetapi nilai gizinya cukup tinggi. Daunnya keras dan berbulu dengan panjang mencapai 90 cm dan lebar 8-35 cm. Bunganya berbentuk tandan (seperti es lilin), tetapi bijinya sulit didapat. Rumput ini dapat tumbuh baik di dataran rendah dan dataran tinggi dan pada berbagai jenis tanah dengan curah hujan di atas 1.000 mm/tahun. Rumput ini dilaporkan juga tahan terhadap naungan. Kandungan protein rumput ini sekitar 7.6% (tergantung pada kultivar), sedangkan daya hasil mencapai 350 sampai 525 ton bobot segar per ha per tahun. Dengan hasil setiap panen (interval 45 hari) 8-12 ton bobot segar berarti cukup untuk kurang lebih 32-46 ekor sapi dengan berat badan 300 kg. Penanaman rumput ini dilakukan dengan pols dan stek. Panjang stek 20-30 cm (mempunyai dua mata tunas). Jarak tanaman 1 m x 1 m dapat disesuaikan dengan kondisi tanah. Pemanenan pertama umur 60-80 hari setelah tanam. Pada musim hujan interval panen 30-40 hari dan musim kemarau 50-60 hari. Tinggi pemotongan 15-20 cm dari permukaan tanah. 

1. King Grass (Pennisetum Purpurhoides)

Jenis ini merupakan persilangan antara P. Purpureum dan P. Ameriacnum (Amerika tropis). Di Indonesia, rumput ini dikenal sebagai rumput raja. Berasal dari Afrika daerah tropis, rumput ini memiliki kualitas nutrisi lebih baik daripada rumput gajah. Protein kasarnya lebih tinggi daripada rumput gajah. Secara fisik hampir sama dengan rumput gajah tetapi tekstrurnya lebih kasar (berbulu). Tanaman rumput raja memerlukan pemeliharaan yang teratur untuk memperoleh hasil yang tinggi dan pertumbuhan yang cepat. 

Untuk itu perlu dilakukan penyiangan terhadap gulma agar tidak terjadi persaingan. Pada waktu penyiangan perlu diadakan penggemburan tanah dan pembumbunan disekitar rumpun tanaman. Pemotongan pertama dapat dilakukan pada umur tanaman 2-3 bulan sebagai potong paksa. Hal ini bertujuan untuk menyamakan pertumbuhan dan merangsang pertumbuhan jumlah anakan. Pemotongan berikutnya dilakukan sekali setiap 6 minggu, kecuali pada waktu musim kemarah waktu potong sebaiknya diperpanjang. Tinggi pemotongan 10-15 cm dari permukaan tanah. Hindari pemotongan yang terlalu tinggi karena akan banyak sisa batang yang mengayu (keras). Jangan dipotong terlalu pendek karena akan mengurangi mata atau tunas muda yang tumbuh.

2. Signal Grass (Brachiaria Decumbens Stapf). 

Di Indonesia, rumput ini dikenal dengan rumput signal atau rumput BD. Jenis ini cocok digunakan untuk padang penggembalaan. Rumput ini berasal dari Afrika Timur (Uganda, Rwanda, Tanzania, dan lain-lain). Kualitas rumput ini dangat baik dengan protein kasar sekitar 6-11% dan serat kasar sampai dengan 37%. Palatabilitas rumput jenis ini cukup baik dan bisa digunakan sebagai tanaman sela dengan tanaman besar (kelapa, karet, sawit, dan lain-lain). 

Perakaran dangkal sampai dalam tergantung varietas. Batang agak kasar dan beruas pendek-pendek. Daun pendek kaku berbulu bertekstur halus. Bunga berbentuk mayang bendera. Rumput ini tumbuh membentuk hamparan lebat dengan tinggi tanaman mencapai 20 sampai 250 cm tergantung pada varietas tanaman. Rumput jenis ini dapat tumbuh pada curah hujan 1000 mm/th dan toleran terhadap jenis tanah dengan kisaran cukup luas mulai dari berstruktur ringan dengan pH 6-7. Tidak hanya itu, rumput BD tahan terhadap kekeringan selama 6 bulan dan terhadap cuaca dingin serta toleran terhadap penggembalaan. 

Kandungan protein dalam rumput ini 8-10 % tergantung kultivarnya. Produksi berat segar 80-150 ton/ha/th tergantung pada varietasnya. Jenis ini responsif terhadap pemupukan nitrogen. Dengan produksi berat segar 100 sampai 150 ton/ha/th atau sekitar 12,5-18,75 ton satu kali pemotongan, berarti mencukupi kebutuhan untuk 9-13 ekor sapi dengan berat badan 300 kg. Penanaman dapat dilakukan dengan pols atau biji. Apabila ditanam dengan pols sebaiknya dengan jarak tanam 30 x 30 cm atau disesuaikan dengan kondisi tanah. Jika ditanam sebagai penguat teras, jarak tanamnya bisa 20 cm. Apabila ditanam dengan biji, takarannya 2 kg/ha. Pemanenan pertama dilakukan saat berumur 60 hari setelah tanam. Pada musim hujan, interval panen 40 hari dan musim kemarau 50-60 hari. Tinggi pemotongan 5-10 cm dari permukaan tanah. 

Selain rumput, terdapat juga beberapa jenis legum untuk makanan ternak antara lain:

1. Sentro Butterfly Pee (Centrosema Pubescent Benth).

dikenal dengan nama kacang sentro. Jenis ini berasal dari Amerika Tengah dan Selatan Tropis. Palatabilitas jenis ini sangat baik dan dapat digunakan sebagai sumber protein yang baik untuk ruminansia. Protein kasarnya berkisar antara 11-24%.

2. Calopogonium (Calopogonium Mucunoides Descv) atau kacang asu

Kacang ini berasal dari Amerika tropis dengan palatabilitas kurang baik karena daun dan batangnya mempunyai bulu. Protein kasarnya tidak terlalu tinggi yaitu sekitar 15%, tetapi serat kasarnya cukup tinggi yaitu 35%. 

3. Calliandra Calothyrsus (Messn) atau kaliandra. 

Jenis ini berasal dari Amerika Tengah dengan populasi yang sudah menyebar ke seluruh Indonesia. Jenis ini pada umumnya tidak mengandung racun dan memiliki protein kasar daun sekitar 24% dengan serat kasar yang relatif rendah yakni 24%.

4. Gliricidia Sepium (Jacq) atau Gamal, Liriksidia. 

Jenis ini berasal dari Amerika Tengah dengan kualitas bervariasi dengan protein kasar sekitar 19% dan akan menurun dengan penambahan umur tanaman. Palatabilitas jenis ini kurang baik sehingga sebaiknya dilayukan terlebih dahulu sebelum diberikan ke ternak.

5. Leucana Leucocephala (Lamk) de Wit atau Klandingan, Lamtoro. 

Jenis ini berasal dari Guatemala dengan protein kasar bervariasi 14-19% dan serat kasar bervariasi besar antara 33-66%. Kandungan vitamin C dan A biasanya tinggi. Jenis ini mengandung antinutrisi minosin yang berbahaya terutama untuk monogastrik. 

6. Sesbania Grandiflora (L) Poiret atau Turi, Toroy, Tuwi. 

Jenis ini berasal dari Asia Tenggara dengan palatabilitas sangat baik. Protein kasar jenis ini cukup tinggi sekitar 29% dan serat kasar cukup rendah yakni 5-15%. Jenis ini mengandung saponin dan tannin dan pada unggas menimbulkan efek negatif.

Sumber: 

Direktorat Pakan Ternak, Dorektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementrian Pertanian 2011, 
Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian 2006, 
Heri Ahmad Sukria & Rantan Krisnan, Sumber dan Ketersediaan Bahan Baku Pakan di Indonesia.

Pengolahan Tanaman Jarak Pagar | Petani Hebat

Saat ini banyak pihak, baik perorangan, perusahaan swasta maupun Negara, Pemda dan kelompok tani telah dihinggapi demam bertanam jarak pagar, karena tanaman ini merupakan salah satu bahan bakar alternative untuk menghasilkan bahan bakar nabati (biofuel). Dengan semakin menipisnya cadangan minyak di perut bumi membuat banyak kalangan berusaha mencari energy alternative terbarukan yang dapat digunakan sebagai substitusi minyak bumi.

Sebelum tahun 2005, tanaman jarak pagar tidak mendapat perhatian khusus di Indonesia. Namun, ditengah krisis BBM yang melanda Indonesia pada tahun 2005, tanaman jarak pagar diingat kembali karena minyak lampunya. Ternyata, minyak nabati dari tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.) dapat diolah menjadi bahan bakar pengganti minyak bumi dan atau energy fosil ( solar, minyak tanah, dan minyak bakar). Jarak pagar dapat menjadi sumber energy (BBM) alternative dan menjadi bahan bakar hayati. Karena dapat beregenerasi, tanaman jarak pagar pengganti minyak nabati bisa disebut dengan sumber energy terbarukan (renewable energy) atau lebih tepatnya energy hijau yang terbarukan (biofuel). Sejak mei 2005 terjadi “demam jarak” di Indonesia. Dinamai demikian karena tanaman ini lazim ditanam di Indonesai sebagai pagar pembatas tanah lading, pagar batas desa, pagar kuburan, bahkan pengganti nisan. Tanaman jarak pagar juga biasa tumbuh liar di tepi jalan. Tanaman ini sering digunakan sebagai pagar karena daunnya tidak disukai hewan ternak (sapi dan kambing) sehingga dapat melindungi tanaman yang ada di bagian dalam pagar.

Tanaman Jarak Pagar

Menurut data Automotif Diesel Oil (ADO), konsumsi bahan bakar minyak Indonesia sejak tahun 1995 telah melebihi produksi dalam negeri dan diperkirakan cadangan minyak Indonesia akan habis dalam kurun waktu 10-15 tahun depan. Untuk menjawab kelangkaan dan keterbatasan energy fosil tersebut, beberapa gerakan telah dicanangkan oleh Presiden RI antara lain program revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan dengan salah satu fokusnya adalah pengembangan Research and Development (R&D) melalui pemanfaatan biodiesel berbahan baku hasil tanaman di jatiluhur Jawa Barat dan melaksanakan menghematan energy di segala lapisan masyarakat. 

Dalam rangka menjamin pasokan energy dalam negeri, telah diterbitkan Peraturan Presiden RI No. 5 Tahun 2006 tentang kebijakan Energi Nasional. Dalam Peraturan Presiden tersebut antara lain disebutkan bahwa penyediaan biofuel pada tahun 2025 minimal 5% dari kebutuhan energy nasional. Untuk menyiapkan penyediaan biofuel ini, telah dikeluarkan instruksi Presiden No. 1 Tahun 2006, tentang penyediaan dan pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) kepada 13 Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota seluruh Indonesia dan di instruksikan untuk melakukan percepatan penyedian bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain. 

Oleh karena itu, pengembangan tanaman penghasilan minyak nabatisebagai bahan baku bahan bakar nabati harus segera diupayakan. Komoditas perkebunan penghasil minyak nabati cukup tersedia, seperti kelapa sawit, kelapa, kemiri, jarak pagar dan lain-lain. Namun mengingat minyak kelapa sawit dan kelapa merupakan minyak makan (edible oil), maka jarak pagar mempunyaio peluang yang sangat besar terutama pada lahan-lahan marginal. Kebijakan Pemerintah Menurut data Automotif Diesel Oil (ADO), konsumsi bahan bakar minyak Indonesia sejak tahun 1995 telah melebihi produksi dalam negeri dan diperkirakan cadangan minyak Indonesia akan habis dalam kurun waktu 10-15 tahun depan. Untuk menjawab kelangkaan dan keterbatasan energy fosil tersebut, beberapa gerakan telah dicanangkan oleh Presiden RI antara lain program revitalisasi pertanian,perikanan dan kehutanan dengan salah satu fokusnya adalah pengembangan

Research and Development (R&D) melalui pemanfaatan biodiesel berbahan baku hasil tanaman di jatiluhur Jawa Barat dan melaksanakan menghematan energy di segala lapisan masyarakat. Dalam rangka menjamin pasokan energy dalam negeri, telah diterbitkan Peraturan Presiden RI No. 5 Tahun 2006 tentang kebijakan Energi Nasional. Dalam Peraturan Presiden tersebut antara lain disebutkan bahwa penyediaan biofuel pada tahun 2025 minimal 5% dari kebutuhan energy nasional. Untuk menyiapkan penyediaan biofuel ini, telah dikeluarkan instruksi Presiden No. 1 Tahun 2006, tentang penyediaan dan pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) kepada 13 Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota seluruh Indonesia dan di instruksikan untuk melakukan percepatan penyedian bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain. 

Oleh karena itu, pengembangan tanaman penghasilan minyak nabati sebagai bahan baku bahan bakar nabati harus segera diupayakan. Komoditas perkebunan penghasil minyak nabati cukup tersedia, seperti kelapa sawit, kelapa, kemiri, jarak pagar dan lain-lain. Namun mengingat minyak kelapa sawit dan kelapa merupakan minyak makan (edible oil), maka jarak pagar mempunyaio peluang yang sangat besar terutama pada lahan-lahan marginal. ( Penulis: Nanik Anggoro P, SP / Penyuluh Pertanian Pertama BBP2TP

Tanaman jarak pagar dikenal sebagai tanaman penghasil minyak lampu. Jarak pagar (Jatropha curcas L.) sebagai sumber potensial bahan bakar nabati mempunyai beberapa keunggulan yaitu: 

Relative mudah dibudidayakan oleh petani kecil, dapat ditanam sebagai batas kebun, ditanam secara monokultur atau campuran, cocok di daerah beriklim kering, sebagai tanaman konservasi lahan, dapat tumbuh di lahan marginal dan juga dapat ditanam di lahan pekarangan, 
Pemanfaatan biji atau minyak jarak pagar tidak berkompetisi dengan penggunaan lain seperti CPO dengan minyak makan atau industry oleokimia, sehingga harganya diharapkan relative stabil, 
Proses pengolahan minyak jarak pagar untuk kebutuhan rumah tangga pengganti minyak tanah dan untuk pembakaran tungku sangat sederhana, sehingga dapat dimanfaatkan sampai daerah terpencil. Disamping itu pengolahan untuk bahan bakar pengganti minyak solar juga tidak memerlukan teknologi tinggi, sehingga biaya investasinya relative murah. Dengan demikian peluang untuk pengembangan jarak pagar masih terbuka luas. Untuk keberhasilan pengembangan jarak pagar masih terbuka luas. 

Jarak pagar dapat tumbuh pada tanah-tanah yang ketersediaan air dan unsure haranya terbatas atau lahan-lahan marginal. Namun demikian lahan dengan air yang tidak tergenang merupakan tempat yang optimal. Bila perakarannya sudah cukup berkembang, jarak pagar dapat toleran terhadap tanah-tanah masam, terbaik pada pH 5,5-6,5. Curah hujan tidak kurang dari 600 mm/tahun. Bahan tanaman jarak pagar bisa berasal dari biji ataupun setek

Tanaman Jarak Pagar

Manfaat Jarak Pagar secara Ekologi

Pada dasarnya jarak pagar dapat dimanfaatkan sebagai biofuel dan tanaman obat. Jarak pagar bisa ditanam di lahan marginal atau di lahan kritis. Cocok juga untuk program reboisasi atau penghijauan. Lahan marginal dan kritis, biasanya kekurangan air. Sementara jarak pagar tahan terhadap stres air sehingga cocok ditanam di daerah yang kurang air. Pada musim kemarau tanaman jarak pagar akan menggugurkan daunnya, tetapi akarnya tetap mampu menahan air dan tanah. Karena itu, jarak pagar bisa disebut tanaman pioneer, tanaman penahan erosi, dan tanaman yang dapat mengurangi kecepatan angin. Akar lateralnya yang menyebar di permukaan tanah, jika ditanam bersama tanaman akar wangi atau serai wangi akan mampu melindungi tanggul kecil dari kerusakan erosi akibat aliran air permukaan. Upaya penghijauan dengan jarak pagar sangat bermanfaat untuk menyerap polusi udara. Kemampuan jarak pagar menyerap gas kanbondioksida dari atmosfer cukup tinggi, sebesar 1,8 kg/kg bagian kering tanaman.

Tingkat Kemasakan Buah Jarak 

Buah muda ditandai dengan kulit buah berwarna hijau muda, biji berwarna putih, daging biji belum terbentuk masih berupa air yang keruh, biji ini belum mengandung minyak. Buah setengah tua ditandai dengan kulit buah yang berwarna hijau, kulit biji berwarna coklat muda keputih-putihan, daging biji telah terbentuk namun masih lunak, biji juga belum mengandung minyak. Buah tua, ditandai dengan kulit buah berwarna hijau tua, biji berwarna hitam dank eras, biji telah mengandung minya walaupun masih rendah. Buah masak kulit buah berwarna kuning sampai hitam, biji telah berwarna hitam mengkilat dank eras, kandungan minyak paling tinggi. Buah lewat masak, buah telah kering atau jatuh, tergantung pada kondisi lingkungan, jika kondisi kering maka buah dapat tergantung di pohon selama 2-3 bulan ditandai dengan kulit buah telah mongering dengan warna coklat kehitaman. Sedang jika kondisi basah, buah akan jatuh dan berkecambah, kondisi demikian kandungan minyak sangat rendah.

Kandungan Minyak jarak Pagar

Buah berwarna kuning mempunyai kandungan minyak sebesar 30,32%. Buah berwarna hitam memiliki kandungan minyak sebesar 31,47%. Tiga tingkat buah tua dengan kulit berwarna hijau tua dan biji berwarna hitam memiliki kandungan minyak sebesar 20,70%.

Pemanenan Buah dan Pengolahan

Tanaman jarak pagar sudah dapat dipanen mulai berumur 4-5 bulan setelah tanam dan dapat dipanen terus menerus sampai umur 50 tahun. Jika ditanam pada kondisi optimal jarak pagar dapat dipanen 3 sampai 4 kali dalam setahun. Kriteria buah yang dapat dipanen sangat tergantung pada jenis pemanfaatannya. Untuk pemanfaatan sebagai benih, buah jarak pagar yang dipanen harus sudah matang dengan kulit buah berwarna kuning. Untuk pemanfaatan sebagai sumber energy dalam menghasilkan JCO buah dapat dipanen sekaligus pada berbagai tingkat kemasan buah. Namun demikian, buah jarak pagar yang memiliki kandungan minyak tertinggi adalah yang berwarna hitam baik kulit maupun bijinya.

Tahapan pemanenan terdiri dari pemetikan buah/kapsul yang sudah matang dari pohon, pengumpulan kapsul dari areal pertanaman ke tempat prosesing, sortasi kapsul jarak pagar sesuai dengan jenis pemanfaatannya, seperti untuk sumber benih maupun untuk produksi JCO. Biji yang telah dipanen dikeringanginkan kemudian dikupas secara manual guna memisahkan bijidari kulitnya. Biji yang telah dikupas langsung dipecah untuk memisahkan tempurung biji dengan daging biji, kemudian dikeringkan dan dipres menggunakan mesin pengepres untuk mendapatkan minyak. Minyak yang masih kotor dimurnikan. Untuk menghasilkan biodiesel, minyak yang telah dimurnikan dicampur dengan methanol atau etanol guna mengurangi viskositas (kekentalan) dan meningkatkan daya pembakaran. 

Biji jarak yang telah dipanen harus segera diolah, karena penyimpanan akan menurunkan rendemen. Pengolahan lebih lanjut terhadap minyak jarak pagar menjadi biodesel melalui proses transesterifikasi dengan menggunakan methanol bertujuan agar minyak tersebut dapat digunakan sesuai standar minyak diesel. Proses ini juga bertujuan untuk mengurangi kekentalan minyak dan meningkatkan daya pembakaran, dengan mengubah trigliserida menjadi metal ester (biodiesel) dan gliserin. Masing-masing bagian tumbuhan seperti cabang pohon, buah, biji mempunyai potensi menghasilkan bahan bakar untuk memasak, penerangan dan digunakan dalam sector industry. Penggunaan minyak tumbuhan sebagai bahan bakar untuk memasak di pedesaan adalah untuk menggantikan kayu bakar dan sebagai bahan bakar untuk penggerak generator (straight jatropha oil).

Minyak jarak pagar (Crude Jatropha Curcas Oil) terbuat dari daging buah (kernel) Jatropha curcas. Para peneliti menyebutnya minyak jarak alami ini dengan nama straight vegetable oil(SVO), unmodified vegetable oil, atau straight jatropha oil (SJO).

Pemanfaatan minyak jarak alami (CJCO)

Minyak jarak alami berpotensi sebagai pengganti minyak tanah (kerosin) untuk memasak di dapur. Namun, desain kompor minyak tanah yang lazim digunakan di dapur harus diubah karena kekntalan CJCO cukup tinggi sehingga sumbu kompor tidak mampu mengisap CJCO. Karena itu, sumbu kompor harus diganti dengan sumbu yang terbuat dari bahan khusus. Jika menggunakan kompor bertekanan udara seperti yang digunakan oleh para penjual gorengan di tepi jalan, CJCO dapat langsung digunakan sebagai pengganti minyak tanah. Seandainya terdapat 10% dari 40 juta rumah di pedesaan Indonesia ditanami Jatropha curcas sebagai pagar rumah dengan panjang pagar 40 meter, berarti akan ada pagar sepanjang 160 juta meter atau 160.000 km. Minyak CJCO banyak berperan di dunia perindustrian. Minyak jarak alami (CJCO) berpotensi menggantikan minyak bakar atau minya residu (IDO) pada biler pembangkit tenaga uap. Potensi ini sekarang yang sedang diupayakan oleh PT RNI agar dapat menghemat penggunaan 10 juta liter IDO untuk Sembilan buah pabrik gulanya. Minyak kasar juga bisa digunakan pada berbagai pompa air.

Sumber : 

Memproduksi Biodiesel Jarak Pagar oleh Prof. Dr R Sudrajat. MSc, Penebar Swadaya 2006; 
Petunjuk Budidaya Jarak Pagar oleh Rama Prihandana dan Roy Hendroko, Agromedia 2006; 
Teknik Budidaya Jarak Pagar, Badan Litbang Pertanian 2008)

Produk-produk Oleokimia Kelapa Sawit | Petani Hebat

Bahan baku utama oleokimia pada awalnya adalah tallo dan minyak kelapa yang masing-masing merupakan sumber asam lemak C16 &C 18 dan C12 & C14. Namun peningkatan produksi tallow dan produksi minyak kelapa sangat sedikit sehingga diperkirakan tidak dapat memenuhi kebutuhan sumber bahan baku oleokimia dimasa yang akan datang. Alternatif pengganti tallow dan minyak kelapa sebagai bahan baku oleokimia adalah CPO dan PKO, karena masing-masing mengandung asam lemak C 16 & C 18 dan C 12 & C 14. 

Produk oleokimia terbagi menjadi 2 bagian, yaitu oleokimia dasar dan turunan atau produk hilirnya (downstream product). Oleokimia dasar terdiri dari asam lemak, fatty ester, fatty alcohol, fatty amin dan gliserin, sedangkan turunannya antara lain sabun,, produk pembersih, produk kosmetik dan perawatan kulit, lilin, surfaktan,pelumas, tinta cetak, agrokimia, pakan ternak dan sebagainya. 

Produk-produk Oleokimia Kelapa Sawit

Produk-produk Oleokimia.

Fatty acid (asam lemak): Asam lemak merupakan oleokimia yang paling banyak diperlukan. Secara umum, produksi asam lemak di dunia lebih besar dibandingkan konsumsinya. Asam lemak yang berasal dari Amerika dan Eropa pada umumnya disintesis dari tallow, minyak kelapa, minyak kedelai, minyak rapeseed dan lain-lain.

Asam lemak dapat dibuat degan cara splitting CPO atau PKO pada suhu dan tekanan tinggi. Selanjutnya asam lemak tersebut didistilasi atau difraksionasi untuk memperoleh asam lemak dengan kemurnian tinggi. Sementara itu produk sampingnya yang berupa gliserin setelah dimurnikan akan menghasilkan gliserin yang sesuai dengan standar farmasi.

Produk-produk turunan dari asam lemak sepeti fatty ester, fatty alcohol, dan fatty amina lainnya digunakan untuk menggantikan produk-produk petrokimia.

Fatty ester: Fatty ester sebagian besar (± 80%) diubah menjadi fatty alcohol, yang kemudian diproses lebih lanjut menjadi produk hilir terutama suftaktan. Disamping itu fatty ester juga digunakan sebagai bahan bakar pengganti minyak diesel. Metil ester dapat dibuat dengan cara transesterifikasi CPO atau PKO dengan methanol pada suhu 60oC dan tekanan satu atmosfir. Selanjutnya dilakukan distilasi dan fraksionasi untuk memperoleh metal ester dengan kemurnian tinggi. Produk samping yang dihasilkan pada proses ini adalah gliserin yang dapat digunakan sebagai bahan baku industry farmasi dan kosmetik.

Fatty alkohol: Fatty alkohol merupakan oleokimia dasar yang paling banyak digunakan sebagai bahan baku surfaktan seperti fatty alkohol sulfat (FAS), fatty alkohol etoksilat (FAE) dan fatty alokohol etoksi sulfat (FAES). Sekitar 70% fatty alcohol digunakan untuk membuat surfaktan nonionic dan anionic. Fatty alkohol dapat dibuat dari asam lemak maupun metal ester dengan cara hidrogenasi pada suhu dan tekanan tinggi menggunakan katalis kimia. Selanjutnya dilakukan distilasi untuk menghasilkan fatty alkohol dengan kemurnian tinggi.

Fatty amina: Fatty amina merupakan turunan nitrogen dan paling banyak digunakan untuk membuat senyawa ammonium quartener seperti senyawa distearyl-dimethylammonium yang digunakan sebagai pelembut pakaian dan hair conditioners. 

Gliserin: Gliserin dapat dibuat dari minyak atau lemak alami sebagai hasil samping dari asam lemak, ester atau sabun, Meskipun merupakan produk samping, gliserin umumnya mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Mulai tahun 1980-2010, produksi gliserin sintetik (dari minyak bumi) mulai menurun, sementra produksi gliserin alami semakin meningkat. 

Bioemollent dari asam lemak sawit: Industri kosmetik merupakan konsumen minyak nabati dan asam lemak yang sangat potensial Salah satu bahan baku kosmetik yang banyak digunakan dalam hampir seluruh formulasi produk kosmetik adalah emollient. Fungsi emollient adalah sebagai pelembut dan pelembab kulit pada produk kosmetik yang berbentuk krim, lotion, lipstick dan sabun . Produk emollient yang dibuat dari minyak sawit disebut bioemollient, mempunyai keunggulan yang tidak dijumpai pada produk sintetis dari minyak bumi. Emollient disintesis dengan cara esterifikasi antara asam lemak dengan alkohol. 

Biodiesel sawit: Biodiesel sawit dapat dibuat dari hampir semua fraksi sawit seperti CPO, palm kernel oil )PKO), refined bleached and deodorized palm oil (RBDPO) dan olein. Pada prinsipnya biodiesel atau metal ester diproduksi melalui reaksi transesterifikasi antara trigliserida pada minyak sawit dengan methanol menjadi metil ester dan gliserol dengan bantuan katalis basa. Gliserol akan terpisah di bagian bawah reaktor sehingga dengan mudah dapat dipisahkan. Ester yang terbentuk selanjutnya dicuci dengan air untuk menghilangkan sisa kalatis dan methanol. Proses dapat dilakukan secara curah (bach) atau disambung (continuous) pada suhu 50-70o C.

Faktor penting yang perlu diperhatikan dalam pemilihan bahan baku adalah kandungan asam lemak bebas dan harga. Untuk asam lemak yang mengandung asam lemak bebas > 1% perlu dilakukan perlakuan pendahuluan berupa penetralan atau penghilangan asam lemak (deasidifikasi). Proses ini dapat dilakukan dengan penguapan, saponifikasi atau esterifikasi asam dengan katalis padat.

Biodiesel atau metal ester dapat diolah lebih lanjut menjadi berbagai produk oleokimia yang biasanya dibuat dari asam lemak nabati. Apabila harga jual biodiesel kurang menarik, pengolahan lebih lanjut biodiesel menjadi produk-produk oleokimia merupakan salah satu alternatif pemanfaatan biodiesel. 

Sumber : Diversifikasi Produk Industri Hilir Kelapa Sawit, Makalah Seminar oleh Direktur Pusat Penelitian Kelapa Sawit.