27
Feb
2013
No Comments
Sabtu, 3 November 2012
Sering kali, masyarakat lokal tidak menolak pengembangan kebun sawit, tetapi menuntut pembagian hasil yang adil dan ingin mempertahankan haknya atas lahan yang biasanya diakui kepemilikannya dalam hukum adat setempat.
HAMBURG, Jaringnews.com – Pada pertengahan dekade 1990an, banyak lahan belukar dan hutan karet di dataran rendah pulau Sumatera mulai dikonversikan menjadi perkebunan sawit. Perkebunan yang mengikutsertakan petani setempat, yaitu pola PIR, dikembankan atas inisiatif pemerintah dan menyertakan bantuan Bank Dunia. Pada pola tersebut, lahan sawit untuk masyarakat setempat dipersiapkan oleh pengembang swasta. Setelah tiga atau empat tahun, pengelolaan dilimpahkan kepada para petani yang mulai mengelola kebunnya di bawah supervisi pengembang. Perusahaan tersebut membeli tandan-tandan buah sawit matang dari para petani.
Sistem PIR untuk pertama kalinya dikembangkan di Malaysia pada 1970an dan mulai dikembangkan di Indonesia dalam program transmigrasi. PIR pertama kali diterapkan untuk tanaman karet yang diikuti tanaman sawit pada 1980an. Sistem itu dikembangkan lagi menjadi “Koperasi Kredit Primer untuk Anggota” (KKPA), dimana para transmigran berhak menerima kredit bank yang disubsidi. Struktur KKPA mirip dengan struktur pola PIR yang mencakup kemitraan antara perusahaan dan para petani.
Biasanya, pola KKPA memakai kontrak yang ditandatangani perusahaan, petani yang bergabung dalam koperasi serta bank-bank dalam pengawasan pemerintah. Para petani menyerahkan lahannya ke perusahaan yang menanam, mengelola dan memanen hasil tanamannya. Kemudian, pola PIR juga dipakai di daerah non-transmigran, yaitu penduduk asli. Di daerah perladangan dengan daerah belukar dan hutan karet seperti di Kalimantan Barat dan Jambi, mulai dikembangkan PIR sekitar 1990an. Biasanya, penduduk sudah pernah mengetahui pola PIR dari desa-desa trans di sekitarnya. Secara teoretis, perkebunan sawit juga membuka lapangan kerja untuk petani yang tidak memiliki lahan sawit sendiri. Menurut hasil studi Barber, petani cenderung lebih suka mencari pekerjaan lain karena gaji di kebun sawit terlalu rendah.
Masing-masing keluarga dari desa masyarakat penduduk asli yang akan diikutsertakan dalam pola PIR dituntut untuk memberikan tujuh hektar lahan belukar atau hutan karet sebagai kontribusinya. Untuk tujuan itu, para kepala desa didatangi oleh pejabat Dinas Perkebunan yang menuntut agar lahan tidur dari desanya diserahkan kepada pengembang perkebunan. Sebagai gantinya, setiap keluarga menerima dua hektar lahan milik yang ditanami sawit. Uang kredit yang dibutuhkan untuk biaya persiapan lahan, bibit, pupuk dan pestisida dipotong dari hasil panennya nanti. Pemerintah daerah ikut dalam proses sebagai fasilitator antara para pihak terkait dan sebagai instansi yang mengeluarkan sertifikat tanah. Bank pun menahan sertifikat lahan sampai hutang para petani dilunasi. Menurut peneliti Laurène Feintrenie dari Center for International Forest Research (CIFOR) Bogor, semua layanan tersebut terkena biaya yang ditambahkan pada hutang petani.
Pada 1990an, hutang petani untuk dua hektar lahan sawit yang harus dikembalikan kepada perusahaan sawit menjadi 9.4 juta rupiah ditambah dengan bunga sebanyak 11 persen per tahun sebelum pohon sawit mulai membawa hasil serta 14 persen bunga setelah mulai panen. Selama 10 tahun, petani akan dipotong 30 persen dari hasilnya untuk layanan kredit, serta 20 persen untuk ongkos replanting. Setelah kreditnya lunas, ongkos untuk layanan replanting tetap dikenakan kepada petani. Kalau semua berjalan seperti diinginkan, kemungkinan besar para petani akan bertambah makmur dengan kepemilikan lahan sawit. Tetapi, pengembalian hutang dari pola PIR butuh waktu yang cukup lama dan hal itu menjadi beban berat bagi petani. Menurut Greenpeace Indonesia, hal itu dicerminkan secara tragis waktu harga CPO di pasar internasional turun drastis pada 2008. Berita media massa banyak diwarnai oleh petani sawit yang bunuh diri karena utang yang semakin melilit.
Sayangnya, petani dalam posisi tawar-menawar yang lemah karena kekurangan informasi. Hal itu cenderung disalahgunakan oleh pengembang. Menurut kakulasi ekonomis oleh Kepala Research Domain on Globalised Trade and Investment di CIFOR, Pablo Pacheco, perusahaan sawit meminta biaya yang terlalu tinggi dari para petani dibandingkan dengan layanan yang diberikan kepad mereka. KUD juga tidak mampu membantu para petani. Masalahnya, informasi yang mereka miliki sama persis dengan apa yang diketahui petani. Karena pengembang perkebunan memiliki dukungan politis yang kuat, usaha-usaha KUD untuk memperbaiki posisi tawar-menawar petani atau untuk menerima informasi lebih jelas mengenai hak dan tanggung-jawab kedua belah pihak diberhentikan di tingkat administrasi yang lebih tinggi.
Implikasi Sosio-ekonomis dan Ekologis
Prospek bahan bakar nabati dan rencana perluasan kebun sawit diperdebat secara kontroversial di Indonesia. Satu pihak menilai minyak sawit dipandang sebagai barang dagangan yang memiliki peranan penting untuk menahan perubahan iklim, menyediakan sumber energi aternatif dan memberikan kontribusi kepada perkembangan ekonomis serta mata penceharian di pedesaan. Di pihak lain, muncul kekhawatiran tentang pengaruh sosial, ekonomis dan ekologis yang tidak diinginkan.
Menurut Pablo Pacheco, pelaksanaan dalam pengembangan kebun sawit kebanyakan tergantung dari kebijakan perusahaan, pemerintah daerah dan kapasitas sosial dari kelompok petani serta masyarakat yang terlibat dalam produksi. Sering kali, masyarakat lokal tidak menolak pengembangan kebun sawit, tetapi menuntut pembagian hasil yang adil dan ingin mempertahankan haknya atas lahan yang biasanya diakui kepemilikannya dalam hukum adat setempat.
Menurut penelitian Prof Dr. Daniel Mudiyarso dari CIFOR, akibat ekologis dari perluasan kebun sawit adalah deforestasi yang luas, khususnya di daerah rawa dan emisi karbon yang tinggi. Kekhwatiran sekarang adalah bahwa lahan belukar tua yang juga memiliki keanekaragaman hayati tinggi akan digunakan untuk perluasan kebun sawit. Soalnya, kawasan hutan sekunder itu tidak dilindungi oleh Moratorium Konversi Hutan dan kategori-kategori lahan lain sudah mulai menjadi jarang.
Mekanisme Ramah Lingkungan
Pada 2004 lalu World Wildlife Fund bersama dengan utusan-utusan industri, menginisialisasikan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) sebagai reaksi pada tekanan para pembeli dari negara industri. RSPO yang dipimpin oleh produsen minyak sawit berkomitmen pada pola produksi yang lestari. Anggota RSPO dan peserta lainnya memiliki latar belakang yang berbeda, termasuk perusahaan kebun sawit, pengelola dan pedagang produk minyak sawit, LSM lingkungan dan sosial. Semua berasal dari negara yang memproduksi dan memakai minyak sawit.
RSPO menciptakan pola sertifikasi untuk produksi minyak sawit yang ramah lingkungan. Organisasi yang berbasis di Swiss itu mendefinisikan kriteria mulai dari metode kultivasi pohon sawit hingga ke isu hak buruh. Sampai sekarang, hanya sekitar 10 persen dari produksi global sesuai dengan standard RSPO. Menurut data RSPO, pada bulan februari 2012, lebih dari 1,336,910 hektar kebun sawit sudah tersertifikasi. 5,704,342 juta ton CPO dan 1,324,981 juta ton CSPK (Certified Sustainable Palm Kernel Oil) diterima untuk sertifikasi. Indonesia, mengembangkan sistem sertifikasi sendiri yang bernama Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
Beberapa analis mempertanyakan sejauh mana produksi RSPO akan diperluas. Masalahnya, di negara konsumen terpenting, seperti China dan India, kelestarian kurang dianggap krusial, demikian hasil studi oleh Rabobank. Tetapi sebagian dari industri memiliki tujuan yang ambisius: Cargill Tropical Palm Holdings di Singapura ingin agar disertifikasikan semua produknya sampai 2020 dengan label RSPO.
Dr. Silvia Werner, Alumni Free University of Berlin dan kini menetap di Hanover, Jerman.
(Sil / Deb)
Sumber :
http://jaringnews.com