27
Nov
2012
No Comments
Selasa, 27 November 2012
Jakarta (ANTARA News) – Pekan ini Indonesia menjadi tempat konferensi Internasional Palm Oil (IPOC) yang dipusatkan di Nusa Dua, Bali. Diantara tema yang akan diusung Indonesia antara lain menciptakan strategi pertumbuhan produksi secara andal atau terus mengalami peningkatan.
Tema itu agaknya mudah diucapkan, tetapi tak mudah untuk dilaksanakan mana kala syarat untuk meningkatkannya tidak terpenuhi. Masalah tata ruang, otonomi daerah dan sederetan kebijakan yang menghambat, termasuk didalmnya sulitnya mencari lahan menjadi kendala utama dalam pengembangan dan meningkatkan produksi minyak sawit nasional CPO.
Oleh karena itu, tanpa ada kebijakan jelas dan tegas dari pemerintah pusat, tak mungkin Indonesia dapat menjadi produsen terbesar dunia, tak mungkin menjadi eksportir minyak sawit dunia meskipun Indonesia mempunyai jumlah lahan “terlantar” yang cukup luas.
Dengan begitu, meski ada permintaan pasar internasional dan lokal cukup besar, peluang itu hanya akan terlewatkan atau mungkin saja Indonesia bisa jadi bagian dari pangsa pasar minyak nabati negara lain.
Sumber dari asosiasi sawit Indonesia di Jakarta, belum lama ini menyebutkan, pada 2010, industri kelapa sawit nasional turun. Turunnnya itu agaknya adanya situasi dan kondisi pada tahun sebelumnya, yakni Elnino.
Fenomena El Nino yang terjadi selama tahun 2009 mengakibatkan turunnya produksi CPO nasional di semester I 2010, sehingga total jumlah produksi CPO Indonesia diperkirakan turun 3 persen pada 2010 dari tahun sebelumnya sebesar 20,8 juta ton.
Turunnya produksi itu tentu berimbas pula kepada volume ekspor nasional. Tercatat, sampai Oktober 2010 terjadi penurunan ekspor sampai 4 persen dibandingkan periode sama tahun lalu, sehingga diperkirakan jumlah ekspor CPO akan terus turun hingga tahun ini jika semua pihak tak memberikan perhatian pada masalah itu.
Dua tahun silam, merupakan tahun yang penuh dinamika bagi industri sawit Indonesia. Industri yang katanya merupakan primadona ekspor non-migas ini terus menghadapi berbagai tantangan.
Belum lagi tantangan lama seperti masalah infrastruktur yang praktis tidak mengalami kemajuan berarti, penerapan bea keluar CPO dan produk sawit yang terus mengganggu daya saing ekspor Indonesia hingga kampanye `anti-sawit yang terus dilakukan oleh NGO maupun tekanan dalam berbagai bentuk non-tarrif barier oleh group konsumen Eropa, maupun konsorsium negara maju melalui PBB mitigasi perubahan iklim.
Jika Indonesia terus akan mengikuti “tarian yang diiringi gendang” dari asing, maka sebuah paradoksal terjadi, yakni produsen sawit terus ditekan lewat berbagai kebijakan lokal dan internasional secara sistematis sehingga pemerintah ikut alur yang diharapkan pihak asing itu. Itu sebabnya, masalah isyu lingkungan, masalah sulitnya memperluas lahan untuk sawit akan tetap menjadi isyu menarik dalam pertemuan IPOC itu.
Sulit mengembangkan lahan
Sampai kini yang menjadi masalah para industri sawit nasional, sulitnya mengembangkan lahan meskipun masih banyak lahan tidur yang belum tergarap secara baik. Itu merupakan masalah besar yang dihadapi industri sawit Nasional sejak dua tahun silam hinggga kini.
Pelaku industri hulu sawit kesulitan mengembangkan lahan karena belum tuntasnya tata ruang provinsi hingga mengakibatkan pengembangan baru perkebunan kelapa sawit mengalami perlambatan cukup serius. Jika pemerintah masih seolah berpangku dagu, bukan dijadikan sebagai pekerjaan serius, maka tinggal menunggu giliran cerita lama bahwa Indonesia pernah sebagai raja minyak sawit dunia. Itu masa lalu.
Sedikitnya masih ada beberapa wilayah provinsi yang belum mengesahkan Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi (RTRWP) antara lain di kawasan Sumatera, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, dan Kepulauan Riau lainnya. Ketidakpastian dan molornya waktu penuntasan RTRWP menyebabkan pelaku usaha kelapa sawit memilih sikap “wait and see” untuk menghindari masalah di kemudian hari.
Dampak lain, program pemerintah seperti revitalisasi perkebunan menjadi terganggu karena salah satu programnya berupa perluasan lahan kurang mengapresiasi terhadap industri sawit.
Ketidakpastian RTRWP ini menghambat pula investasi di sektor sawit yang diperkirakan mencapai Rp 16 triliun/tahun untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit. Nilai ini berdasarkan proyeksi Gapki di mana setiap tahun rata-rata perluasan lahan kelapa sawit mencapai 400 ribu ha dengan asumsi satu hektar lahan butuh investasi Rp 40 juta.
Ketika penyelesaian RTRWP belum tuntas, pemerintah kala itu justru memunculkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan Dan Fungsi Kawasan Hutan. Aturan itu membuat prosedur perolehan lahan baru eks hutan (HPK, HP) semakin sulit bahkan mustahil.
Pertimbangannya, pelaku hulu kelapa sawit yang mengajukan pelepasan kawasan hutan eks hutan produksi misalnya, pemohon hak harus mengganti lahan dengan lahan lain dengan perbandingan 1:1, selanjutnya berada dalam satu daerah aliran sungai di propinsi yang sama.
Parahnya lagi, regulasi ini bersifat retroaktif sehingga mempersulit posisi perkebunan kelapa sawit yang operasionalnya sebelum tahun 1999. Kebijakan itu membuat sulit bagi industri sawit yang dinilai mampu mendorong pertumbuhan ekonomi secara itu.
Jika hal itu tidak segera ditinjau lagi, pelaku bisnis sawit dapat dikategorikan sebagai orang yang dipersalahkan. Tentu saja, kondisi ini akan membuat mundur, industri kelapa sawit nasional akan terus terhambat oleh suatu kebijakan.
Kebijakan nasional juga ditambah adanya kesepakatan pemerintah Indonesia-Norwegia yang tertuang dalam Letter of Intent (LoI) mengenai pengurangan emisi karbon sebagai akibat deforestasi, degradasi hutan dan konversi lahan gambut.
Kerjasama bilateral itu menerapkan moratorium penggunaan hutan alam dan lahan gambut untuk kepentingan apapun sebagai upaya memangkas emisi karbon.
Memang, pemerintah menawarkan hutan terdegradasi untuk digunakan bagi kepentingan pertanian dan perkebunan, tetapi belum berarti masalah ini selesai begitu saja. Penyebabnya, masih banyak pertanyaan terkait status hukum atas hutan terdegradasi yang luasnya diperkirakan 35 juta ha itu yang nantinya diperuntukkan bagi kepentingan pelaku industri sawit nasional.
Moratorium memang perlu dijalankan, tetapi seyoginya tanpa mengorbankan kepentingan nasional khususnya pengembangan lahan kelapa sawit.
Untuk itu, ada tiga langkah yang dapat dijalankan pemerintah; pertama, berani melakukan terobosan kebijakan demi mengatasi masalah tumpang tindih lahan dan kawasan.
Kedua, ada jaminan kejelasan status dan legalitas hutan terdegradasi yang diperuntukkan bagi perkebunan kelapa sawit, dan Ketiga, pelaksanaan moratorium sebaiknya dilakukan secara hati-hati dan bijaksana sehingga tidak menghambat aktifitas pembangunan yang menggunakan sumber daya lahan.supaya masalah lahan tidak menjadi rumit dan sulit.
Jika hal itu tidak segera diselesaikan, posisi Indonesia sebagai produsen CPO nomor wahid di dunia kemungkinan dapat tergeser, lantaran, pelaku usaha hulu sawit tidak berani mengembangkan membuka lahan yang sudah dimiliki maupun ketika ingin mendapatkan lahan baru.
Untuk itu, jika kita masih ingin mengembalikan marwah, Indonesia sebagai negara produsen dan eksportir minyak sawit dunia, pemerintah perlu mendukung lewat kebijakan yang kondusif, sehingga para pengusaha yang kini sedang bertemu di Bali, dapat merumuskan kembali bahwa investasi disektor sawit di Indonesia masih terbuka dan menjanjikan, syaratnya, berikan kemudahan untuk eskpansi lahan.
(Y005)
Penulis (Joko) Pengurus Gapki dan (Theo) Wartawan Utama.
Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © 2012
Sumber :
Antaranews.com