JAKARTA, SAWITINDONESIA – Awal 2016 dua pabrik biodiesel milik Sinarmas ditargetkan mulai beroperasi. Kedua pabrik berkapasitas total 650 ribu ton per tahun.
Satu pabrik berlokasi di Marunda, Jakarta dengan kapasitas 300 ribu ton, dan pabrik lain berada di Dumai, Riau, yang berkapasitas 350 ribu ton. Dana yang digelontorkan Sinarmas mencapai US$ 100 juta.
“Satu pabrik sebenarnya telah selesai dibangun, dan satunya lagi masih dalam tahap pembangunan. Tapi keduanya diperkirakan baru akan mulai beroperasi pada awal tahun depan,” ungkap Agus Purnomo Direktur PT SMART selepas gelaran Tropical Summit 2015, Senin (27/4).
Pembangunan pabrik biodiesel ini sendiri merupakan respon Sinarmas atas makin giatnya pemerintah melakukan mandatori blending biodiesel. Awal April lalu, Kementerian ESDM telah menerbitkan Peraturan Menteri untuk implementasi Biodiesel 15 persen.
“Kalau dihitung dari kapasitas produksi biodiesel kita kira-kira kita akan mempergunakan 90 ribu ton lebih CPO kita pertahun yang hampir seratus persen telah sustainable,” kata Agus.
Agus menambahkan, upaya pembangunan dua pabrik biodiesel ini merupakan kontribusi Perseroan terhadap kebijakan ekonomi yang diterapkan pemerintah. Ditambah produksi biodiesel ini akan lebih mengutamakan pasar domestik.
Oleh karenanya, perseroan merasa tak keberatan dengan aturan pungutan CPO Supporting Fund (CSF) yang diwajibkan kepada perusahaan sawit sebesar US$ 50 perton CPO yang diekspor, dan US$ 30 perton produk derivatifnya yang diekspor.
“Mungkin untuk yang tak memiliki pabrik biodiesel itu akan memberatkan, tapi buat kami ini sebagai langkah kontribusi terhadap kebijakan mandatori biodiesel,” jelasnya.
Agus menambahkan, pungutan CSF ini hadir untuk menambal selisih harga produksi biodiesel yang kini lebih tinggi dari harga produksi solar.”Kalau pasar sudah stabil dana ini pun dapat digunakan untuk pengembangan industri sawit sendiri seperti yang dilakukan Malaysia,” ungkap Agus.