Kicauan Edward Snowden yang merilis beberapa bukti penyadapan intelijen Australia terhadap pejabat pemerintah Indonesia berakibat renggangnya hubungan kedua negara. Sulit dipungkiri kendati bertetangga, Australia juga ingin tahu “isi dapur” kebijakan yang diambil Indonesia. Penyadapan hanyalah salah satu instrumen dari sekian banyak instrumen untuk melindungi kepentingan Australia, dan juga berguna untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah Indonesia .
Sejarah Indonesia memang tidak dapat dilepaskan dari intervensi negara lain yang sifatnya langsung atau bawah tanah. Intervensi langsung dapat berupa kerjasama mengikat dengan memiliki imbal balik untuk negara yang menjalankannya. Bukti paling nyata Letter of Intent (LoI) Indonesia-The International Monetery Fund (IMF) ketika krisis ekonomi tahun 1997. Kala itu, Indonesia harus menggadaikan kedaulatannya untuk memperoleh utang senilai US$ 43 miliar, akibatnya sektor perekonomian Indonesia didikte oleh IMF.
Hampir serupa dengan LoI Indonesia-IMF, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono membuat LoI dengan pemerintahan Norwegia pada 2010. Kerjasama ini mengajukan persyaratan yang wajib dilakukan pemerintah Indonesia sebagai imbalannya Norwegia memberikan hibah atau dana bantuan sejumlah US$ 1 miliar. Pelaksanaan dari LoI ini melahirkan regulasi turunan yaitu Instruksi Presiden Nomor 10/ 2011, yang selanjutnya dipertahankan dengan Instruksi Presiden Nomor 6/2013 mengenai moratorium hutan primer dan lahan gambut. Beleid ini berlaku hingga jangka waktu dua tahun.
Erik Satrya Wardhana, Wakil Ketua Komisi VI DPR, mengatakan dalam kasus LoI ini pemerintah kurang kritis terhadap substansi dari perjanjian tersebut yang sebenarnya bertujuan menghambat pertumbuhan industri sawit. Produk aturan moratorium ini adalah contoh tekanan di sektor hulu yang menuduh kelapa sawit tidak ramah lingkungan dan melarang sawit dibudidayakan pada lahan gambut.
Yang mengherankan, moratorium ini tidak berlaku untuk empat kegiatan usaha yaitu panas bumi, minyak dan gas, ketenagalistrikan, lahan untuk padi dan tebu. Itu sebabnya, beberapa pengamat dan anggota parlemen menilai moratorium sebagai kebijakan “akal-akalan” untuk menghambat sawit.
Sadino, Direktur Eksekutif Biro Kajian Hukum dan Kebijakan Kehutanan, mengungkapkan moratorium pemberian ijin di kawasan gambut dan hutan alam merupakan bukti keberhasilan pihak Norwegia untuk ikut campur tangan dalam pembuatan regulasi di Indonesia. Ketentuan yang dipersyaratkan dalam moratorium berakibat buruk kepada perekonomian Indonesia yang sedang memperluas pembangunan ekonomi baik itu pembangunan infrastruktur dan perkebunan.
Sadino mengkritik implementasi kerjasama LoI Indonesia-Norwegia yang bertentangan dengan lima regulasi antara lain UUD 1945, UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal pasal 3 ayat (1), UU 41/1999 tentang Kehutanan pasal 14 ayat (1), PP. 60/2012mengenai Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, PP No. 24 Tahun 2010 mengenai Penggunaan Kawasan Hutan.
Yang mengecewakan, isi Inpres Nomor 10/2011 secara substantif tidak jauh berbeda dengan penggantinya;Inpres Nomor 6/2013. Hal ini mengindikasikan pemerintah sangat terikat dengan aturan moratorium. Padahal, janji hibah US$ 1 miliar Norwegia baru terealisasi setelah Indonesia menjalankan sejumlah persyaratan dalam LoI.
Dalam laporan Satgas REDD+, operator LoI Indonesia-Norwegia, yang diunduh di website, secara umum realisasi pembiayaan dana hibah Norwegia baru sebesar US$ 7,46 juta dari total alokasi dana tahap pertama sebesar US$ 30,71 juta. Bantuan hibah Pemerintah Norwegia direalisasikan ke dalam tiga tahapan yaitu tahap persiapan, tahap transformasi, dan tahapan saat Indonesia melangkah ke “payment for performance. Dana sebesar US$ 30,71 juta merupakan alokasi untuk tahap persiapan yang dikelola oleh United Nation Development Programme (UNDP). Kelembagaan REDD+ berakhir pada 30 Juni 2013 masih menyisakan pekerjaan rumah yasng belum selesai, seperti ketetapan sistem MRV dan peninjauan perizinan.
Sadino mengkritik cara kerja Satgas REDD+yang dinilai tidak paham dengan masalah kehutanan di Indonesia, pasalnya memasukkan hutan sekunder dan Areal Penggunaan Lain (APL) ke dalam peta moratorium. Karena, kesepakatan LoI Indonesia-Norwegia awalnya ditujukan kepada hutan primer dan lahan gambut.
“Pengaruh kepentingan NGO asing sangat kuat dalam inpres moratorium ini. Yang disayangkan, aturan ini merusak tatanan hukum yang sudah ada,” jelas Sadino.
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri berencana untuk lebih memperketat pengawasan kepada organisasi masyarakat dan LSM asing. Dalam keterangannya,
Tanribali Lamo, Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kementerian Dalam Negeri, mengakui pengawasan kegiatan organisasi masyarakat asing belum terpantau dengan baik. Pasca pemberlakuan UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat, diharapkan pengawasan aktivitas ormas asing lebih mudah dilakukan.
Tanribali Lamo memberikan contoh kegiatan ormas asing di sektor lingkungan hidup diwajibkan memperoleh izin operasional Kementerian Lingkungan Hidup. Dalam pandangannya, organisasi masyarakat diharapkan tidak main asal masuk ke Indonesia karena diwajibkan izin prinsip dari Kementerian Luar Negeri. Selain itu, LSM asing diminta kerjasama dengan pemerintah daerah dan LSM maupun organisasi masyarakat setempat.
Di Rusia, kebijakan pemerintah dan parlemen negara ini lebih ekstrem lagi terhadap NGO asing. Terbukti, dari keluarnya peraturan yang mewajibkan LSM non pemerintah untuk menjelaskan sumber pendanaan mereka dari luar negeri. LSM yang memperoleh dana dari luar negeri diidentifikasi sebagai agen luar negeri. Bahkan, LSM ini dapat terancam hukuman penjara apabila tidak transparan.
Erik Satrya Wardhana menambahkan tekanan kepentingan asing sangat kuat dalam regulasi milik pemerintah khususnya yang berkaitan dengan kelapa sawit. Penyebabnya, oknum pejabat kita bermental “jajahan” yang mengutamakan kepentingan diri sendiri, misalkan senang menerima pujian dari negara maju yang notabene pesaing Indonesia di industri minyak nabati.
MEMPERTANYAKAN UKP4
Menurut Enny Sri Hartati, Direktur Institute Development of Economics and Finance (INDEF), koordinasi ini menjadi persoalan mendasar yang mengakibatkan program tiap kementerian berjalan sendiri. Sebagai contoh, ketika Kementerian Perindustrian memasukkan industri hilir sawit sebagai skala prioritas. Namun di lapangan, minim dukungan dari kementerian terkait seperti Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Perhubungan PT PLN, dan Bea Cukai, untuk mengakselerasi industri hilir sawit.
Tidak jelasnya koordinasi diperparah lagi dengan kemunculan lembaga seperti Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Enny Sri Hartati mengatakan kehadiran UKP4 ini menimbulkan kekacauan yang membuat menteri bingung siapa yang diikuti, karena sebelumnya sudah ada Kementerian Koordinator Perekononomian dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
“Idealnya semakin banyak lembaga yang bertugas mengkoordinasi dan selaraskan program kementerian akan membuat lebih integratif, tetapi ini malahan terbelah,” papar Enny.
Sebagai unit kerja presiden, keterlibatan UKP4 dalam pembuatan regulasi di tingkat kementerian kerap kali dilakukan. Contohnya saja, pembahasan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98/2013 mengenai perizinan usaha perkebunan – direvisi dari regulasi sebelumnya Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/2007 – di mana UKP4 mengintervensi substansi dari beleid ini.
Mukti Sardjono, Sekretaris Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, beberapa waktu lalu mengakui penyusunan revisi peraturan untuk perizinan usaha perkebunan melibatkan UKP4. Itu sebabnya, revisi Permentan Nomor 26/2007 masuk ke dalam kegiatan yang dipantau UKP4. “Apabila peraturan ini tidak selesai juga, alhasil kinerja kementerian pertanian akan diberikan nilai merah,” ujarnya.
Erik Satrya Wardhana mengaku bingung dengan kehadiran UKP4 karena tidak ada dalam mandat UUD 1945. Fungsinya sebagai unit kerja tetapi wewenang dan pengaruhnya lebih besar dari menteri sekalipun, karena dapat menilai kinerja kementerian. “ Saya tidak mengerti referensi atau pijakan hukum konstitusi dari UKP4 itu sebenarnya darimana?” tanya politisi Partani Hanura ini.
Begitu kompleksnya struktur kepemerintahan sekarang, ujar Enny Sri Hartati, berangkat dari tidak kuatnya kepemimpinan nasional. Disamping, tidak adanya blueprint seperti Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang turunannya nanti menjadi acuan kerja pemerintah, sehingga tiap kementerian programnya bersifat jangka pendek dan sektoral. “Program menterian yang berjalan sendiri-sendiri inilah sebagai penyebab utama bottlenecking perekonomian kita,” ujarnya.
Tekanan pihak negara asing dan NGO terhadap pertumbuhan industri sawit sebaiknya perlu menjadi perhatian dari pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya. Selain, pemerintah wajib memperbaiki tata kelola pemerintahannya supaya tidak menghasilkan kebijakan yang bersifat hambatan dan sektoral, untuk mendukung kemajuan industri sawit.
Jika tidak segera diselesaikan, menurut Erik Satrya,khawatirnya industri sawit tidak mampu untuk menjadi penyumbang devisa terbesar di luar sektor migas. Sebagai solusinya, menyelesaikan tekanan dan hambatan industri sawit di hulu maupun hilir.
“Untuk mengubah kondisi ini, pemerintah harus punya prioritas dan komitmen terhadap industri sawit. Dalam hal ini, presiden harus berani menyelesaikan persoalan yang terjadi karena berkaitan dengan pemasukan negara yang paling utama, seperti sawit. Sebab, pemimpin negara dimanapun akan memproteksi sumber pendapatan negara yang signifikan dan dominan, “ pungkas Erik Satrya menutup pembicaraan. (Qayuum Amri)