Agen Sorax Sadap Latex – Sorax Sachet – Agen Sorax - Jual Sorax Perangsang Getah Karet Harga Murah

Era Orang Kaya Baru (OKB) Tinggal Kenangan Manis

Berita cuplikan ini merupakan sebuah gambaran pengalaman masa lalu agar bisa diambil hikmahnya sehingga bisa mendapatkan gambaran antisipasi untuk masa datang.

Dahulu, bagi banyak orang di Riau, menjadi petani sawit merupakan pekerjaan yang sangat menggiurkan. Sebab, hanya dengan bermodalkan dua hektare kebun sawit saja, mereka sudah bisa menerima penghasilan bersih Rp 5 juta sampai Rp 6 juta sebulan, tanpa harus banyak bekerja. Apalagi, jika memiliki sampai 10 hektare atau bahkan 100 hektare, berapa banyak penghasilan mereka.

Karena sangat menggiurkannya usaha sawit, maka banyak warga yang mengubah lahan pertaniannya menjadi kebun kelapa sawit. Jika sebelumnya lahan mereka ditanami sawah, jagung, atau komoditas pertanian lainnya, kini lahan mereka telah diubah menjadi kebun sawit, dengan harapan lahan itu menjadi “mesin pencetak uang” bagi mereka.

Harapan itu memang bukan isapan jempol saja. Buktinya, banyak petani sawit berubah menjadi orang kaya baru (OKB) di Riau. Mereka bisa membangun rumah gedung, membeli mobil mewah, bahkan menunaikan ibadah haji berkali-kali ke Tanah Suci. Bahkan, kalau lagi panen, mereka bisa mengajak keluarganya melancong ke Jakarta atau malah ke Singapura.

Itu dulu ketika harga buah sawit masih di atas Rp 1.500 per kilogram. Tapi, sekarang suasananya sudah berubah drastis. Saat ini para petani sawit yang ada di Riau umumnya sudah jatuh telentang akibat makin anjloknya harga sawit. Harga sawit sejak beberapa bulan terakhir ini jatuh di bawah Rp 250 per kilogram. Era OKB pun kini mungkin berubah menjadi orang miskin baru (OMB).

Dengan harga sawit yang sangat rendah itu, para petani di Riau tidak lagi bisa mengandalkan usaha ini untuk memenuhi kebutuhannya. Jangankan mendapatkan keuntungan dari hasil penjualan buah sawitnya, untuk membiayai upah mendodos sawit dan membersihkan kebun saja sudah tidak mencukupi. Belum lagi untuk membeli pupuk yang akhir-akhir ini harganya naik.

Meski panen sawit tahun ini meningkat, itu sama sekali tidak ada artinya. Hasil penjualan sawit itu tetap tidak bisa memberikan keuntungan bagi mereka. Uang yang diperoleh dari menjual buah sawit hanya bisa untuk membayar upah mendodos buah sawit dan membersihkan kebun. Makin banyak buah yang dipanen akan makin banyak pula biaya yang dikeluarkan.

Kondisi itu bertambah buruk lagi karena akhir-akhir ini banyak pabrik kelapa sawit (PKS) tidak menerima buah sawit mereka. Alasannya, produksi CPO sudah sangat besar, sedangkan permintaan dari luar negeri makin menurun. Sejumlah PKS di Riau saat ini telah menghentikan kegiatannya.

Mendadak Gila
Sejak harga sawit anjlok, kehidupan para petani di Riau mendadak berubah drastis. Harga buah sawit yang anjlok tajam itu membuat sebagian besar mereka jatuh miskin. Ironisnya, kondisi itu sempat membuat beberapa petani mendadak gila bahkan ada yang berusaha bunuh diri.

Marwanto, salah seorang petani sawit dari Desa Sungai Pagar, Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar, belum lama ini mengungkapkan, anjloknya harga sawit yang terus berlangsung hingga saat ini membuat petani sawit di desanya menjadi stres. “Ada di antara kami yang mendadak gila dan ada pula yang berusaha bunuh diri,” ujarnya.

Menurut dia, kondisi harga sawit sekarang ini benar-benar menimbulkan penderitaan bagi para petani yang menggantungkan hidupnya hanya semata-mata pada hasil sawitnya. Jadi, begitu harga sawit anjlok tajam, mereka langsung kehilangan pendapatan sehingga kontan jatuh miskin.

“Makanya, kini banyak petani sawit terkena stres berat. Bahkan, yang lebih parah lagi, ada yang sampai berusaha bunuh diri. Mereka merasa tidak sanggup lagi memikul beban hidup yang makin berat,” katanya. Untung saja warga lain dapat menggagalkan upaya bunuh diri itu.

Dia menyebutkan, warga yang mencoba bunuh diri itu karena dililit banyak utang yang tidak sanggup dibayarnya. Biasanya, cicilan utang itu bisa dibayarnya dari hasil panen sawit. Namun, karena harga sawit anjlok, dia tidak sanggup lagi membayar cicilan.

Hal itu diakui Setiyono, pengurus Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perkebunan Inti Rakyat (Aspekpir) Riau, di Pekanbaru. Dia mengatakan, sejak harga sawit anjlok, pendapatan para petani sawit di Riau turun secara drastis. Mereka jadi tidak sanggup lagi membayar utang-utangnya, termasuk cicilan rumah dan kendaraannya.

Disebutkannya, ketika harga buah sawit melambung, para petani sawit di Riau memang merasa mendapatkan durian runtuh dengan pendapatan yang cukup besar. Karena itu, di kalangan petani sawit itu muncul sifat konsumtif yang sangat tinggi.

Sifat konsumtif yang tinggi itu dibuktikan dengan banyaknya petani sawit membeli barang-barang mewah seperti sepeda motor, mobil, dan rumah. Sebagian barang-barang itu mereka dapatkan dengan cara kredit karena mereka merasa yakin akan mampu membayar cicilannya.

“Karena itu, begitu harga buah sawit anjlok, pendapatan mereka menurun drastis. Kini mereka tidak sanggup lagi membayar cicilan. Bahkan, jangankan membayar cicilan, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sudah tidak sanggup lagi,” kata Setiyono.

Karena itu, saat ini banyak di antara petani sawit itu mengembalikan lagi rumah atau kendaraan yang telah mereka beli secara cicilan itu. Sebagian lagi ada yang menjual murah rumah dan kendaraan yang mereka kredit itu dengan sistem pengalihan kredit.

Setiyono mengatakan, saat ini petani sawit yang tergabung dalam Aspekpir Riau mencapai 64 ribu kepala keluarga dengan luas lahan masing-masing dua hektare. Para anggota Aspekpir ini tersebar di hampir seluruh kabupaten/kota di Provinsi Riau.

Kondisi buruk itu tidak dibantah Kepala Dinas Perkebunan Riau, Soesilo. Kepada wartawan di Pekanbaru dia menyebutkan, anjloknya harga sawit akhir-akhir ini tidak pelak lagi membuat banyak petani sawit di Riau jatuh miskin. Hal ini berdampak pada naiknya angka kemiskinan di Riau. Kalau sebelumnya hanya tercatat 11 persen, kini menjadi 32 persen.

Dia menyebutkan, untuk saat ini saja jumlah petani sawit di Riau sudah mencapai 941 ribu kepala keluarga (KK). Jumlah ini belum termasuk yang bekerja sebagai pendodos buah sawit dan pembersih pohon sawit.

“Jadi, kalau anjloknya harga sawit ini berlangsung berbulan-bulan, dapat dipastikan orang-orang yang berkecimpung di usaha sawit akan jatuh miskin,” ujarnya. Kendati selama ini mereka memiliki simpanan uang, tapi kalau anjloknya harga sawit berlangsung dalam waktu lama, uang tersebut pasti akan terpakai juga. (Adrizas)

Sumber : http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=213155

Gapki Hengkang, RSPO Ibarat Senapan Tanpa Peluru

Fokus Pada ISPO, Tentukan Standar Minyak Sawit Sendiri
Kamis, 06/10/2011

Jakarta – Langkah Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) sebagai asosiasi yang secara resmi keluar dari Forum Roundtable On Sustainable Palm Oil (RSPO) sejak 29 September silam tidak perlu dirisaukan. Pasalnya, dengan keluarnya Gapki, kerugian lebih besar justru dialami RSPO. Ibarat kata, RSPO tanpa Gapki seperti senapan tanpa peluru. RSPO akan rugi besar tanpa Gapki lantaran posisi Indonesia sebagai produsen dan eksportir sawit terbesar di dunia dinilai sangat menentukan.

Sengkarut masalah sikap RSPO yang “mempermainkan” negara-negara produsen sawit termasuk Indonesia sejatinya sudah menjadi rahasia umum. Perlakuan tersebut membuat asosiasi sawit Indonesia dan Malaysia kerap kali terlihat kompak dalam meladeni tekanan dari RSPO.

Menurut Menteri Perindustrian MS Hidayat, selama ini Indonesia sebagai produsen sawit terbesar di dunia Indonesia diperlakukan tidak fair oleh RSPO. “Malah saya mendukung, selama ini teman-teman diperlakukan oleh RSPO tidak fair,” kata Hidayat, Rabu (5/10).

Perlakuan tidak fair RSPO paling tidak tercermin pada Mei 2010 lalu saat Asosiasi produsen sawit Indonesia-Malaysia mengancam akan melakukan aksi walk out dalam forum working group (WG) ke-2 RSPO. Hal ini dilakukan karena syarat-syarat RSPO yang dibahas oleh WG semakin memberatkan produsen sawit kedua negara. RSPO merupakan asosiasi nirlaba yang menyatukan kepentingan tujuh sektor industri kelapa sawit. Anggota RSPO berasal dari berbagai sektor, dari produsen produk konsumen, produsen kosmetik, pengolah dan pedagang kelapa sawit, penyedia jasa keuangan, peritel, sampai dengan lembaga swadaya masyarakat.

Nah, senada dengan MS Hidayat, Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi mengatakan mundurnya Gapki adalah pilihan organisasi tersebut. Pemerintah hanya mewajibkan produsen sawit Indonesia harus masuk dalam Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). “Bagi pemerintah, yang wajib itu ISPO. RSPO itu sukarela sifatnya, diserahkan ke masing-masing perusahaan dan organisasi atau asosiasi seperti Gapki untuk ikut atau tidak,” kata Bayu.

Ditegaskan Bayu, mundurnya Gapki dari keanggotaan RSPO bisa diartikan bahwa forum RSPO selama ini tidak bisa memberikan manfaat yang cukup bagi anggotanya untuk bertahan. “Tapi menurut saya, Gapki keluar, RSPO yang rugi karena Gapki adalah organisasi dari negara produsen dan eksportir sawit terbesar,” katanya.

Tak Berpengaruh

Sementara Sekjen Gapki Joko Supriyono menegaskan, Gapki telah resmi keluar dari RSPO sebagai asosiasi produsen sawit di Indonesia sejak 29 September 2011. Adapun keanggotaan RSPO para anggota Gapki yang sudah masuk RSPO masih tetap. Joko menambahkan memberikan kebebasan kepada anggota Gapki untuk tetap atau keluar dari RSPO karena itu hak anggotanya. “Anggota Gapki yang sudah menjadi anggota RSPO, mau keluar atau tetap di RSPO silahkan saja, yang keluar Gapki sebagai asosiasi,” jelasnya.

Joko meyakini, dengan Gapki keluar dari RSPO tak akan mengubah konstelasi forum RSPO yang saat ini sudah ada, termasuk tak mempengaruhi perdagangan sawit anggota Gapki di Eropa. Namun dari sisi Gapki, akan berdampak tak lagi mengikuti acara-acara yang digelar oleh RSPO termasuk mengikuti kesepakatan yang dilakukan RSPO.

Kata dia, kriteria yang ditetapkan oleh RSPO terhadap pengelolaan sawit yang berkelanjutan setiap waktu selalu diubah sehingga memberatkan produsen sawit. Syarat-syarat baru yang diajukan RSPO cenderung menyulitkan dan membidik kepada produsen sawit saja. Padahal anggota RSPO bukan hanya produsen tetapi mencakup perbankan, industri, LSM, importir, dan lain-lain.

Barangkali karena itulah, langkah pengunduran diri Gapki ini ternyata juga mendapat dukungan dari Asosiasi Pemilik Perkebunan Minyak Sawit Serawak (SOPPOA) di Malaysia. “Malaysia MPOA (Malaysian Palm Oil Association) masih tetap (anggota RSPO), sebenarnya yang mendukung langkah kita SOPPOA mendukung kita dari Serawak,” kata Joko.

Joko mengaku tak tahu mengapa pihak SOPPOA mendukung langkah Gapki. Namun yang ia tahu asosiasi sawit Malaysia atau MPOA belum merespons keputusan Gapki keluar dari RSPO. “Alasannya kita keluar dari RSPO agar lebih fokus men-support ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) supaya lebih cepat,” katanya.

Fokus ISPO

Pada kesempatan lain, Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan (FP2SB) meminta pemerintah berfokus pada upaya sosialisi dan persiapan penerapan Indonesia Sustainabe Palm Oil (ISPO) yang mengatur kelapa sawit berkelanjutan sesuai dengan peraturan di Indonesia.

Ketua FP2SB Achmad Mangga Barani menilai, keluarnya Gapki dari RSPO bukanlah keputusan tiba-tiba, melainkan sudah lebih dulu berdiskusi dan melakukan pertemuan selama kurang lebih dua tahun. “Gapki sudah memperjuangkan kepentingan produsen bersama dengan Malaysia di RSPO, tapi tidak mendapat perhatian dan manfaatnya,” kata Mangga Barani.

Menurut dia, keluarnya Gapki dari RSPO merupakan saat yang tepat bagi Indonesia untuk semakin memperkenalkan ISPO. “Ini waktu yang tepat bagi Indonesia untuk memperkenalkan ISPO,” ungkapnya. ISPO sendiri telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pertanian No.19/Permentan/OT.140/3/2011 yang secara resmi berlaku mulai Maret 2012. Aturan tersebut mewajibkan seluruh perkebunan kelapa sawit di Indonesia sudah bersertifikat ISPO paling lambat 31 Maret 2014.

Karena itulah, Mangga Barani meminta Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian memfokuskan perhatian dan kegiatannya dalam beberapa hal penyelesaian, seperti Juklak ISPO, penyiapan data kebun Kelas I,II dan III, dan pembentukan organisasi. Tak hanya itu, perlu ada pelatihan prinsip dan kriteria ISPO kepada para calon auditor. Namun, yang terpenting adalah meyakinkan luar negeri dan notifikasi ke WTO (Organisasi Perdagangan Dunia). “Sehingga ke depan ISPO dapat menjadi acuan bagi perdagangan kelapa sawit dunia di masa depan,” ujarnya.

Sumber : www.neraca.co.id

Suara dan Seruan dari Daerah Menanti Perpanjangan Moratorium

Oleh Andi Fachrizal, Christopel Paino dan Indra Nugraha,  May 8, 2013 6:07 am

Bekas hutan di Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya. Tahun lalu kawasan ini masih hutan dengan pohon-pohon kokoh berdiri. Kini, sudah siap digarap menjadi kebun sawit. Jadi, moratorium hutan dan lahan perlu dilanjutkan dengan penguatan perbaikan tata kelola kehutanan, tak hanya setop pemberian perizinan. Foto: Sapariah Saturi

“Menghitung hari, detik demi detik…Masa kunanti apa kan ada.” Kutipan lirik lagu yang dibawakan Krisdayanti ini tampaknya senada dengan penantian banyak pihak akan keberlangsungan moratorium hutan dan lahan yang bakal berakhir 20 Mei 2013. Waktu tinggal menghitung hari, tetapi belum ada tanda-tanda Presiden SBY akan mengeluarkan instruksi Presiden (inpres) perpanjangan ini. Desakan datang dari berbagai pihak, baik di pusat maupun daerah.

Di Kalimantan Barat (Kalbar), sejumlah lembaga swadaya masyarakat mendesak moratorium hutan dan lahan di Indonesia, segera dilanjutkan. Jika tidak, khawatir membuka peluang bagi pemanfaatan hutan menjadi ajang konsolidasi sumber daya finansial oleh berbagai aktor dalam persiapan momentum politik 2014. “Ini sangat rentan,”  kata M Hermayani Putera, Manajer Program Kalbar WWF-Indonesia, di Pontianak, Minggu(5/5/2013).

Dia mengatakan, komitmen moratorium itu sangat penting terlebih hingga saat ini, finalisasi RTRW masih belum selesai. Dari aspek spasial,  seperti ini menjadi masa sangat krusial. “Bisa kita lihat hasil akhir koordinasi antar-sektor terkait upaya mempertahankan hutan yang masih ada versus usulan melepaskan kawasan hutan untuk kepentingan berbagai sektor.”

Untuk itu, fungsi pemantauan hutan, baik oleh lembaga yang diberi mandat di tingkat pemerintahan maupun yang diinisiasi berbagai pihak di luar pemerintah, perlu diperkuat.

Hal senada dikemukakan Sekretaris Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Kalbar Agus Sutomo.  Dia menilai, pernyataan Menteri Kehutanan (Menhut) terkait komitmen moratorium itu tidak memiliki kekuatan apapun, selain hanya cuap-cuap. “Jika memang betul, Menhut harus bisa membuktikan pernyataan melalui tindakan lebih nyata melalui kebijakan Presiden RI,” ucap dia.

Menurut Sutomo, jika komitmen memperpanjang moratorium kawasan hutan ini terlambat, maka akan menjadi peluang investasi politik dari pemerintahan yang korup. “Mereka akan kembali menjarah hutan dan merusak kawasan hutan.

Hendrikus Adam, Koordinator Devisi Riset dan Kampanye Walhi Kalimantan Barat (Kalbar), mengatakan, Inpres Moratorium sesungguhnya perintah yang tidak wajib karena tidak ada kekuatan bersifat memaksa.

Namun, perpanjangan moratorium sebagai upaya penyelamatan ekologi khusus hutan dan manusia di sekitar kawasan itu, penting. Dengan moratorium ini, diharapkan tak hanya menekan deforestasi dan degradasi hutan—yang belum terlihat pada moratorium sesi pertama—juga penyelesaian konflik-konflik agraria. “Sampai saat ini  belum terlihat progres penyelesaian sengketa agraria yang menempatkan warga sebagai korban kebijakan pembangunan.

Suara meminta perpanjangan juga datang dari Koalisi LSM yang tergabung dalam Relawan Pemantau Hutan Kalimantan (RPHK). Mereka mendesak pemerintah agar hutan alam di luar kawasan konservasi yang masih tersisa di Kalbar tetap dipertahankan. Mereka mengingatkan, kondisi hutan tanaman industri (HTI) di Kalbar berdasarkan data Balai Pemantauan Pemafaatan Hasil Hutan Produksi (BP2HP) Wilayah X sudah mencapai 2.429.807 hektar.

Lalu, SK. 3803/Menhut-VI/BRPUK/2012 tentang penetapan peta indikatif pencadangan kawasan hutan produksi untuk usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, di Kalbar,  sudah ditetapkan seluas 827.614 hektar untuk HTI. Ke depan, Kalbar akan memiliki 3.257.421 hektar HTI. Angka ini 23 persen dari luas daratan Kalbarr. “Dari hasil analisis tutupan lahan pada kawasan yang dicadangkan Menhut, kawasan HTI masih banyak yang di hutan alam,” kata Baruni Hendri, juru bicara RPHK.

Selain pada hutan alam, HTI yang akan dikembangkan ada di tengah-tengah dan sekitar permukiman. Ke depan, harus menjadi perhatian pemerintah, baik provinsi dan kabupaten untuk tidak mudah memberikan rekomendasi pengembangan HTI. “Pemprov dan pemkab jangan mudah merekomendasi kawasan, terutama di lokasi yang masih memiliki hutan alam dan di tengah-tengah pemukiman. Ini dikawatirkan memicu konflik baik lingkungan maupun sosial,”  ujar Baruni.

Sulhani, Koordinator RPHK, menambahkan, hasil pantauan RPHK di beberapa lokasi HTI di Kalbar, masih ditemukan perusahaan yang mengabaikan aspek kelestarian lingkungan dan hak-hak masyarakat di sekitar. “Walapun HTI itu legal, tapi aspek kelestarian masih dipertanyakan. Kita masih menemukan peredaran ilegal satwa yang dilindungi seperti orangutan dan bekantan yang dipicu pengembangan kawasan untuk HTI.”

Di Kalbar, masih ada hutan alam di luar kawasan konservasi yang memiliki nilai penting bagi lingkungan dan kehidupan masyarakat. Untuk itu, RPHK mendesak pemerintah me-review kembali kriteria dan indikator dalam menentukan kawasan yang akan dikembangkan untuk pembangunan HTI di dalam SK. 3803/Menhut-VI/BRPUK/2012.

Di Sulawesi juga menyuarakan hal sama. Ahmad Pelor, Walhi Sulawesi Tengah (Sulteng) mendesak pemerintah segera memperpanjang  kebijakan moratorium ini. Menurut dia, moratorium semestinya tidak diukur dengan waktu dua tahun, empat tahun, atau lima tahun. “Moratorium diukur dengan hasil, yaitu tata kelola kehutanan membaik dan rehabilitasi kawasan-kawasan hutan kritis secara terencana, sistematis, serta melibatkan rakyat sekitar atau di dalam hutan.”

Ahmad Pelor mengungkapkan, Walhi Sulteng mendukung kebijakan moratorium pengeluaran izin baru di kawasan hutan. Namun, dalam konteks Sulteng atau Sulawesi, kebijakan ini, tidak disertai komitmen kuat dan pengawasan efektif pada level implementasi.

Akibatnya, kebijakan seperti tidak tidak menjadi acuan bagi pemerintah daerah. Terbukti, banyak aktivitas pertambangan mineral tetap berlangsung di kawasa hutan, seperti di Morowali bahkan sampai masuk dalam kawasan konservasi  yaitu Cagar Alam Morowali.

“Selain itu kami juga menduga, perusahaan perkebunan sawit, seperti PT Sawindo Cemerlang di Kabupaten Banggai, Sulteng, terus mengkonversi ilegal kawasan hutan menjadi perkebunan,” katanya kepada Mongabay, Jumat (3/5/13).

Dia mengatakan, jika ada jeda menuju waktu perpanjangan cukup mengkhawatirkan. Bisa jadi,  masa ini menjadi momentum bagi Kementerian Kehutanan buru-buru mengeluarkan izin pengelolaan hutan baru bahkan izin penggunaan kawasan hutan bagi pertambangan dan perkebunan skala besar.  “Apalagi kita tahu saat ini, hampir seluruh pemerintah daerah mengusulkan perubahan kawasan hutan, jika ditaksir angka mencapai jutaan hektar melalui revisi rencana tata ruang wilayah provinsi, kabupaten dan kota.”

Senada diungkapkan Ketua Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (Japesda) Gorontalo, Ahmad Bahsoan. Menurut dia, ada kecurigaan besar jika sampai 20 Mei belum ada perpanjangan. Sebab, ada permintaan pemerintah daerah yang bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan agar menyisakan waktu bagi pemberian izin pelepasan kawasan hutan.

Dalam konteks Gorontalo, kata Bahsoan, meski sudah ada enam perusahaan sawit yang beraktivitas di kawasan hutan di Kabupaten Pohuwato, namun ada empat kabupaten lagi yang bergairah mengurus izin investasi sawit. Empat kabupaten itu adalah Boalemo, Gorontalo Utara, Bone Bolango, dan Kabupaten Gorontalo. “Perusahaan skala besar ini pasti akan berusaha mencari celah agar bisnis sawit masuk Gorontalo dengan cara mengubah kawasan hutan.”

Keadaan ini sangat berbahaya, jika pemerintah daerah dan perusahaan skala besar sudah bekerja sama memuluskan rencana perubahan kawasan hutan dan lahan.  Untuk itu, dia mendesak pemerintah pusat segera memperpanjang moratorium hutan dan lahan.

Suara permintaan perpanjangan juga muncul dari Jawa Barat (Jabar). Dadan Ramdan, Direktur Eksekutif Walhi Jabar mengatakan,  Inpres  Moratorium harus segera diperpanjang sebelum masa berlaku habis.  Jika tidak ada  perpanjangan waktu, pihak yang berkepentingan atas izin pengelolaan hutan akan menggunakan rentang waktu yang ada untuk mengobral izin. Akibatnyanya, masalah pengelolaan hutan akan makin bertumpuk dan kerusakan hutan terus bertambah.

Namun, dia juga mengoreksi Inpres penting yang sangat lemah dalam melindungi kawasan hutan. “Moratorium hanya terbatas pada penundaan penerbitan izin baru dan rentang waktu regulasi itu tergolong singkat, hanya dua tahun,” kata Dadan.

Untuk memperkuat Inpres,  moratorium harus berdasarkan capaian, misal, berapa banyak masalah pengelolaan hutan diselesaikan. Salah satu menyangkut proses perizinan yang melangkahi prosedur. “Kita nilai dua tahun tidak cukup dan tak menghasilkan apa-apa. Pada praktik meski tidak sebanyak sebelum moratorium, pemberian izin pengelolaan hutan masih marak.”

Jika dilihat, data statistik Kemenhut selama dua tahun ini, sudah ada izin-izin baru baik eksplorasi, eksploitasi maupun pelepasan kawasan hutan lindung. “Artinya dua tahun ini sangat kurang dari segi waktu.”

Menurut Dadan, moratorium boleh diberhentikan jika pemerintah telah mencapai capaian baik dalam menjaga hutan. “Antara lain, review dan penegakan hukum lingkungan bagi para pemegang izin yang melanggar aturan.” Perpanjangan moratorium saja tidak cukup. Pemerintah harus memperbaiki tata kelola hutan, lebih melindungi dan kontrol bagi masyarakat.

Senada dengan Dadan, Sekjen Forum Komunikasi Pecinta Alam (FKPA) kabupaten Bandung, Dani Dardani. Dia mengatakan, moratorium harus diperpanjang dengan konsep pengelolaan hutan berbasis masyarakat. “Kalau hanya perpanjang moratorium ya percuma. Pemberdayaan masyarakat perlu karena penguasaan hutan oleh lembaga pemerintah awal kerusakan.”

Jika masyarakat dilibatkan akan tumbuh rasa memiliki dan menjaga hutan. “Pengelolaaan juga harus berhubungan dengan konsep-konsep konservasi yang sesuai masyarakat,” ucap Dani.

Upaya kerja sama erat antara pemerintah dan  masyarakat untuk bersama mengelola hutan seharusnya lebih intens.“Hutan di Jabar sekitar 600 ribu hektar kritis. Itu ulah Perhutani. Siapa dulu yang mengelola hutan? Kita lalu menyalahkan siapa lagi kalau bukan Perhutani. Bukannya hutan, air dan udara dikelola oleh negara dan diperuntukkan kesejahteraan rakyat, namun praktik berbeda.”  Laporan kontributor Kalimantan Barat, Sulawesi dan Jawa Barat.

Bekas hutan di Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya. Tahun lalu kawasan ini masih hutan dengan pohon-pohon kokoh berdiri. Kini, sudah siap digarap menjadi kebun sawit. Jadi, moratorium hutan dan lahan perlu dilanjutkan dengan penguatan perbaikan tata kelola kehutanan, tak hanya setop pemberian perizinan. Foto: Sapariah Saturi

Sumber : www.mongabay.co.id