Agen Sorax Sadap Latex – Sorax Sachet – Agen Sorax - Jual Sorax Perangsang Getah Karet Harga Murah

Studi Kasus Di 5 Pulau Besar Di Indonesia Periode 1990 S/D 2010



Indonesia is one of the largest crude palm oil (CPO) producing countries in the world and at the same time have experienced high levels of deforestation. The link between deforestation and expansion of oil palm plantation has been a source of controversy, which has been exacerbated by the lack of objective quantitative information on the nature of land use and land cover change and the expansion of oil palm plantations. This report provides an independent analysis of land use and land cover change for a broad range of land cover classes for five main Islands in Indonesia, namely Sumatra, Java, Kalimantan, Sulawesi, and Papua based on Landsat TM satellite images.

Visual analysis and on screen digitizing methods were employed to create a nation-wide land cover classification that spans two decades (1990 to 2010). Three temporal epochs (1990 to 2000, 2000 to 2005 and 2005 to 2010) correspond to a period of time with significant changes in land cover and land uses in Indonesia.

Expansion of oil palm plantation in Indonesia shows that most of the expansion exists as a follow on transition from disturbed forest (secondary forest), agricultural lands (mainly rubber plantation), and low biomass land cover types, including shrub land and grassland than formerly reported to be majority from undisturbed forest (primary forest).
Key words: land use change, deforestation and expansion, oil palm plantation, undisturbed forest, disturbed forest, primary forest.

1. PENDAHULUAN

Komoditas kelapa sawit Indonesia memegang peranan yang cukup strategis sebagai salah satu industri non-migas. Selain sebagai penghasil sumber devisa negara, keberadaan perkebunan sawit juga menciptakan lapangan pekerjaan baru. Luas perkebunan sawit di Indonesia yang saat ini telah mencapai 8 juta ha dengan tingkat produksi lebih dari 21 juta ton CPO (crude palm oil), menempatkan Indonesia sebagai negara produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia (Fahmuddin et al., 2011). Akan tetapi, tumbuh dan berkembangnya perkebunan kelapa sawit di negara-negara penghasil minyak sawit termasuk di Indonesia, juga dikhawatiran oleh banyak pihak sebagai salah satu sumber utama pemicu terjadinya deforestasi atau konversi hutan.

Konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit yang merubah tutupan lahan tidak hanya akan mengurangi stok karbon, akan tetapi juga mengancam kerusakan keanekaragaman hayati, berkurangnya cadangan air dan kualitas tanah, dan berkurangnya habitat satwa yang dilindung (Germer dan Sauerborn, 2008). Koh dan Wilcove (2008) memperkirakan kontribusi perkebunan sawit terhadap konversi hutan di Indonesia antara periode 1990 s.d 2005 adalah sekitar 56%. Sedangkan studi Wicke et al. (2011) melaporkan konversi penggunaan lahan dari hutan ke perkebunan kelapa sawit di Indonesia meningkat dari 100.000 ha pada tahun 1975 menjadi 5,5 juta ha pada tahun 2005.

Namun demikian, detail penelitian yang mengamati pola perubahan penggunaan hutan dan lahan menjadi perkebunan kelapa sawit secara seri waktu (time series), masih sangat terbatas dan masih terdapat perbedaan besar dalam kualitas data dan metode yang dipergunakan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka penelitian untuk menjawab isu-isu yang berkembang berkaitan dengan perubahan tutupan hutan dan lahan menjadi perkebunan sawit berdasarkan data dan informasi secara seri waktu sangat dibutuhkan. Ketersediaan data dan informasi ini sangat penting tidak hanya untuk mengetahui pola perubahan tutupan hutan dan lahan menjadi kelapa sawit di Indonesia, akan tetapi juga dapat menjadi bahan masukan kepada pemerintah Indonesia dalam rangka mengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Dalam studi ini, kajian dilakukan dalam rangka memperoleh data dan informasi terkait dengan perubahan tutupan hutan dan lahan secara time series dari tahun 1990, 2000, 2005, dan 2010 dari. Adapun tujuan studi ini difokuskan untuk mengetahui tutupan dan perubahan hutan dan lahan menjadi perkebunan sawit. Diharapkan dari hasil studi ini akan didapat informasi mengenai perkembangan perkebunan sawit baik dari hutan yang tidak terganggu (primer), hutan yang terganggu (hutan sekunder), lahan kritis atau lahan lainnya termasuk pada lahan gambut. Selain itu diharapkan pula dari hasil studi ini akan dapat memberikan masukan untuk perkiraan CO2 emisi dari penggunaan lahan dan perubahan tutupan hutan dan lahan sebagai bahan rekomendasi untuk skenario pengurangan emisi.

2. BAHAN DAN METODE PENELITIAN
2.1. Lokasi dan Sumber Data

Ruang lingkup kajian penelitian ini meliputi 5 (lima) pulau besar di Sumatera, Kalimantan, Papua, Sulawesi dan Jawa. Sumatera merupakan pengembangan kelapa sawit terbesar di Indonesia sedangkan Papua merupakan daerah yang kemungkinan akan menjadi daerah pengembangan kelapa sawit di masa datang di Indonesia. Pemilihan lokasi kajian ini juga didasarkan bahwa kelima pulau tersebut telah mewakili lebih dari 95% wilayah pengembangan kelapa sawit di Indonesia.

Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah citra Landsat TM 4, 5 dan TM 7 Tahun 1990, 2000, 2005, dan 2010 liputan Sumatra, Kalimantan, Papua, Sulawesi, dan Jawa yang diperoleh atau diunduh dari USGS melalui website glovis.usgs.gov, peta dasar thematik kehutanan dari Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan citra resolusi tinggi dari Google Earth untuk wilayah kajian. Sedangkan data lahan gambut khusus diperoleh dari Wetland International (2003) dan batas administrasi diperoleh dari data administrasi dari Bakosurtanal (2006).

2.2. Analisis Penutupan Lahan dan Analisis Perubahan Penutupan lahan

Pendekatan Multi tingkat (multi stage approach) digunakan dalam kajian ini dengan 2 (dua) data spasial citra satelit yang memiliki resolusi spasial yang berbeda untuk interpretasi penutupan lahan. Tahap pertama, analisa penutupan lahan dilakukan dengan menggunakan citra Landsat, dimana citra Landsat diinterpretasikan untuk menentukan kelas penutup lahan yang ada berdasarkan kunci interpretasi. Sedangkan tahap ke dua, untuk menentukan dan melakukan validasi jenis penutupan lahan yang ada digunakan citra yang memiliki resolusi spasial yang lebih tinggi yang berasal dari Google Earth. Metode validasi digunakan untuk memperoleh konsistensi data dari hasil analisa perbandingan dengan mempergunakan wilayah yang pernah dikaji sebelumnya. Data yang digunakan untuk proses validasi pada kajian ini adalah hasil kajian sebelumnya oleh Tropenbos International Indonesia Programme (TBI) yaitu, untuk wilayah Papua dan Riau.

Klasifikasi penutupan lahan yang digunakan dalam kajian ini berasal dari Kementerian Kehutanan untuk data wilayah Papua, Sumatra, Sulawesi dan Jawa, sedangkan khusus untuk Kalimantan menggunakan klasifikasi penutupan lahan dari Kementerian Pertanian. Berdasarkan dua klasifikasi tersebut kemudian dilakukan pengkelasan ulang menjadi 20 kelas yang disesuaikan dengan tujuan penelitian (Lampiran 1). Analisis yang dilakukan guna memperoleh penutupan lahan adalah analisis secara visual manual. Delineasi dilakukan secara on screen digitations dimana operator/analis GIS langsung melakukan digitasi melalui layar monitor. Sedangkan proses on screen digitations ini dilakukan dengan menggunakan software ARCGIS 9.3.

Perubahan penutupan lahan diperoleh berdasarkan tumpang susun data penutupan lahan beda waktu. Untuk mengetahui luasan dan perubahan dilakukan analisa dengan menggunakan tabel matriks perubahan penutupan lahan.

3. HASIL PENELITIAN

Berdasarkan hasil analisis perubahan tutupan lahan dengan mempergunakan citra satelit dari periode 2000 s.d 2010, diperoleh hasil bahwa hutan lahan kering yang tidak terganggu (primer) di Indonesia mengalami penurunan dari 49 juta ha periode 2000 menurun menjadi 45 juta ha periode 2005 dan kembali menurun hingga menjadi 42 juta ha periode 2010 (Tabel 1). Dilain pihak berdasarkan Tabel 1, secara umum justru terjadi peningkatan luas perkebunan sawit, pertanian lahan kering dan pertambangan dari periode 2000 s.d 2010. Khusus pada perkebunan sawit meningkat cukup pesat dari 3.8 juta ha periode 2000 meningkat menjadi 5.4 juta ha periode 2005 dan mencapai 8 juta ha periode 2010.

Peningkatan pengembangan perkebunan kelapa sawit secara umum di Indonesia setelah periode 2000-2010 tak terlepas dari pertumbuhan ekonomi di Indonesia paska krisis ekonomi. Apalagi setelah itu didukung pula oleh kebijakan nasional tentang perkebunan sawit. Departemen Pertanian mentargetkan untuk mengembangkan hingga 8 juta ha kelapa sawit di tahun 2025, sedangkan Departemen Kehutanan telah menyetujui untuk mengalokasikan hutan konversi termasuk yang dapat digunakan untuk perkebunan kelapa sawit dan pertambangan, sampai 20 juta ha. Pemerintah Indonesia juga telah mengadopsi Kebijakan Energi Nasional tahun 2006 untuk meningkatkan penyerapan biofuel sampai 5% dari konsumsi energi nasional pada tahun 2025, dimana sasaran target pengembangan biofuel di Indonesia akan mengalokasikan 5.25 juta ha untuk perkebunan biofuel hingga tahun 2010, dimana 1.5 juta ha diantaranya adalah perkebunan kelapa sawit.

Selain menganalisa perubahan tutupan lahan seperti tersaji di Tabel 1, analisis tutupan lahan khusus pengembangan kelapa sawit terhadap 5 (lima) pulau besar di Indonesia yaitu pulau Sumatera, Kalimantan, Papua, Sulawesi dan Jawa juga dilakukan (Tabel 2 dan Lampiran 2). Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan bahwa luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada tahun 1990 hanya mencapai 1.3 juta ha akan tetapi hingga tahun 2010 sudah mencapai 8 juta ha, dimana dalam periode 20 tahun luas pengembangan kelapa sawit di Indonesia telah berkembang hampir mencapai 6 (enam) kali lipat.

Berdasarkan Tabel 2, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia terbesar berada di pulau Sumatera, kemudian diikuti oleh pulau Kalimantan, Sulawesi, Papua dan pulau Jawa. Pengembangan perkebunan di kedua pulau (Sumatera dan Kalimantan) merupakan lebih dari 80% dari perkebunan kelapa sawit total di Indonesia. Sedangkan rata-rata per tahun pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia periode 1990 s.d 2000 mencapai 234.100 ha per tahun, periode 2000 s.d 2005 mencapai 319.600 ha per tahun, dan periode 2005 s.d 2010 meningkat mencapai lebih dari setengah juta hektar (Tabel 3).

Tabel 3 menunjukkan bahwa rata-rata per tahun perkembangan perkebunan kelapa sawit di pulau Kalimantan meningkat tajam pada periode 2005 s.d 2010, akan tetapi tidak terjadi di pulau Sumatera. Di pulau Sumatera, rata-rata per tahun perkembangan perkebunan kelapa sawit justru meningkat pada periode 2000-2005, akan tetapi pada periode 2005-2010 justru menurun. Perkembangan pembangunan kelapa sawit di pulau Sumatera menurun pada periode 2005-2010 diperkirakan akibat semakin terbatasnya lahan yang tersedia yang dapat dikonversi menjadi perkebunan sawit. Sedangkan di pulau Jawa pengembangan perkebunan kelapa sawit hanya dilakukan di areal bekas perkebunan (karet) dengan wilayah pengembangan meliputi Jawa Barat dan Jawa Timur. Untuk wilayah lainnya, yaitu Papua, ketertarikan investor untuk mulai berinvestasi kelapa sawit masih lebih kecil jika dibandingkan dengan perkembangan kelapa sawit di pulau Sulawesi yang relatif pesat

Sedangkan dari hasil analisis dengan menggunakan metode overlay antar 2 (dua) data time series, yang kemudian dilanjutkan dengan analisa pivot table terhadap data atributnya untuk mengetahui pola pengembangan kelapa sawit, diperoleh hasil bahwa secara umum pengembangan kelapa sawit di Indonesia pada periode 1990 s.d 2000 masih berasal dari lahan hutan, lahan terlantar (waste land) dan lahan pertanian. Kemudian, berdasarkan hasil analisis seperti tersaji pada Gambar 1 menunjukkan bahwa pada periode 1990-2000 pengembangan kelapa sawit terbanyak berasal dari hutan, baik berupa hutan sekunder (disturbed forest) maupun hutan primer (undisturbed forest).

Hutan sekunder yang telah berubah menjadi sawit pada periode tersebut mencapai 951 ribu ha dan 61% diantaranya berasal dari hutan sekunder di Sumatra. Kemudian yang berasal dari hutan primer seluas 103 ribu ha dimana 92 ribu ha di antaranya berasal dari hutan primer Sumatra. Sementara perkebunan kelapa sawit yang dikembangkan dari areal pertanian, lahan tidak terpakai, dan lahan yang diperuntukkan untuk hutan tanaman (timber plantation), masing-masing seluas 455 ribu ha, 452 ribu ha, dan 452 ribu ha. Dari ketiga tutupan lahan yang telah disebutkan sebelumnya, luasan lahan tidak terpakai yang dikembangkan menjadi area perkebunan kelapa sawit terbesar berasal dari Kalimantan dengan jumlah 57% dari total luas lahan tak terpakai. 

Gambar 1 menunjukkan bahwa periode 2000-2005 perubahan penutupan lahan menjadi kelapa sawit mencapai 2,2 juta ha. Perubahan penutup lahan ini didominasi oleh tipe penutupan lahan pertanian. Perubahan lahan pertanian menjadi area perkebunan kelapa sawit mencapai 1,5 juta ha. Kemudian, perubahan tutupan lahan dari pertanian menjadi perkebunan kelapa sawit terbesar terjadi di Sumatra yang mencapai 1,44 juta ha. Perubahan lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit mencapai 404 ribu ha, dimana 361 ribu ha di antaranya berasal dari hutan sekunder dan 43 ribu ha lainnya berasal dari hutan primer. Dari total luas perubahan lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, seluas 329 ribu ha berasal dari hutan sekunder Kalimantan dan 256 ribu ha berasal dari hutan sekunder Sumatra, sementara sisanya berasal dari Sulawesi dan Papua.

Sedangkan pada periode 2005-2010 luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 8 juta ha, hal ini berarti terjadi peningkatan luas hingga 2,83 juta ha. Perubahan penutupan lahan ini didominasi oleh tipe penutupan lahan pertanian yang mencapai 1,3 juta ha, dimana pulau Sumatra merupakan daerah yang mengalami perubahan tutupan lahan paling besar, yaitu seluas 1,25 juta ha. Kemudian perubahan tutupan lahan terbesar selanjutnya adalah hutan yang terganggu (disturbed forest) seluas 340 ribu ha, sedangkan pada tipe penutupan lahan marginal (waste land) pada periode ini mencapai 206 ribu ha.

Berdasarkan gambar 1 secara umum menunjukkan bahwa selama periode 1990-2000 adalah periode terbesar perkebunan kelapa sawit dibuka dari hutan primer, tetapi menurun selama periode 1990-2000 dan 2000-2010. Studi ini menunjukkan bahwa pengembangan kelapa sawit di Indonesia lebih dari dua dekade tidak selalu dibuka dari hutan primer dan hutan sekunder. Periode 2005-2010, pengembangan kelapa sawit terbesar justru terjadi dari lahan pertanian, diikuti selanjutnya dari hutan sekunder dan lahan marginal. Hasil analisis ini kemudian menunjukkan hasil yang berbeda dengan studi sebelumnya yang menunjukkan bahwa lebih dari 56% perkebunan kelapa sawit di Indonesia dibangun dengan konversi kawasan hutan (Koh dan Wilcove, 2008).

Artikel ini pernah ditampilkan dalam jurnal ilmiah Universitas Negeri Jakarta

Kami Juga Menyediakan Produk – Produk Unggulan dibawah ini

Kacangan Jenis CM Berat 1 kg

kacang kacangan penutup tanah (legume cover crops) dengan berbagai jenis ini merupakan tumbuhan yang berfungsi sebagai pengikat nitrogen sehingga kadar kelembapan tanah akan tetap terjaga. Fungsi dan kestabilan kelembapan ini biasanya dibutuhkan pada masa pertumbuhan pohon karet dan pohon sawit atau sejenisnya dalam

Selengkapnya

Raja Latex Pluss – Solusi Meningkatkan Hasil Sadap Karet, Mati Getah, Kulit Keras Pada Batang Karet

Pengeluaran Getah disadap 2 x lipat atau 40 – 70 % dan meningkatkan kandungan getah kering dan yang mati getah atau kekeringan bisa normal karena ada kandungan vitamin 40 % yang tidak dimiliki obat poles selain Raja Latex Pluss dan enzim 48 %

Selengkapnya

Jual Benih Sawit Lonsum, PPKS, dan Socfindo

Dari segi imbal hasil, secara umum bisnis kebun sawit memberikan return yang jauh lebih besar dibandingkan dengan property rumah, kHUSUS bAGI ANDA YANG MENCARI BENIH SAWIT UNGGUL KAMI MENYEDIAKANNYA. Kami Menyediakan Benih Sawit Lonsum, PPKS, dan Socfindo

Selengkapnya

NPK HUMAGROW HUMID ACID : 6-30-6 PLUS SPesial Khusus Pupuk Karet Dan Sawit, dan Tanaman Lainnya

Kelebihan Pupuk NPK Humagrow yaitu : Memperbaiki Unsur Unsur tanah dan tanaman keras, yang bisa menghasilkan 2 kali lipat dari hasil sebelumnya 1. Memperbaiki dan meningkatkan dan membentuk pertumbuhan Akar yang kuat 2. Tanah lebih Remah dan lebih lama menahan air, sehingga 99 % pemupukan bisa diserap oleh tanaman, dan

Selengkapnya

Pupuk Organik Buah dan Sayuran Alphamien , Membuat Tanaman Lebih Sehat dan Energik Hasil Panen Meningkat,

Alphamien – Nutrisi Organik Cair, Membuat Tanaman Lebih Sehat dan Energik
Hasil Panen Meningkat, Ramah Lingkungan aman untuk manusia dan ternak, Manfaat :

Sayuran, buah dan tanaman hias/bunga menjadi lebih bercahaya dan sehat
meningkatkan mutu dan bobot hasil panen
menghilangkan residu pestisida yang menempel didaun bunga dan buah

Selengkapnya

Previous

Studi Kasus Di 5 Pulau Besar Di Indonesia Periode 1990 S/D 2010



Advertisements

Indonesia is one of the largest crude palm oil (CPO) producing countries in the world and at the same time have experienced high levels of deforestation. The link between deforestation and expansion of oil palm plantation has been a source of controversy, which has been exacerbated by the lack of objective quantitative information on the nature of land use and land cover change and the expansion of oil palm plantations. This report provides an independent analysis of land use and land cover change for a broad range of land cover classes for five main Islands in Indonesia, namely Sumatra, Java, Kalimantan, Sulawesi, and Papua based on Landsat TM satellite images.

Visual analysis and on screen digitizing methods were employed to create a nation-wide land cover classification that spans two decades (1990 to 2010). Three temporal epochs (1990 to 2000, 2000 to 2005 and 2005 to 2010) correspond to a period of time with significant changes in land cover and land uses in Indonesia.

Expansion of oil palm plantation in Indonesia shows that most of the expansion exists as a follow on transition from disturbed forest (secondary forest), agricultural lands (mainly rubber plantation), and low biomass land cover types, including shrub land and grassland than formerly reported to be majority from undisturbed forest (primary forest).
Key words: land use change, deforestation and expansion, oil palm plantation, undisturbed forest, disturbed forest, primary forest.

1. PENDAHULUAN

Komoditas kelapa sawit Indonesia memegang peranan yang cukup strategis sebagai salah satu industri non-migas. Selain sebagai penghasil sumber devisa negara, keberadaan perkebunan sawit juga menciptakan lapangan pekerjaan baru. Luas perkebunan sawit di Indonesia yang saat ini telah mencapai 8 juta ha dengan tingkat produksi lebih dari 21 juta ton CPO (crude palm oil), menempatkan Indonesia sebagai negara produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia (Fahmuddin et al., 2011). Akan tetapi, tumbuh dan berkembangnya perkebunan kelapa sawit di negara-negara penghasil minyak sawit termasuk di Indonesia, juga dikhawatiran oleh banyak pihak sebagai salah satu sumber utama pemicu terjadinya deforestasi atau konversi hutan.

Konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit yang merubah tutupan lahan tidak hanya akan mengurangi stok karbon, akan tetapi juga mengancam kerusakan keanekaragaman hayati, berkurangnya cadangan air dan kualitas tanah, dan berkurangnya habitat satwa yang dilindung (Germer dan Sauerborn, 2008). Koh dan Wilcove (2008) memperkirakan kontribusi perkebunan sawit terhadap konversi hutan di Indonesia antara periode 1990 s.d 2005 adalah sekitar 56%. Sedangkan studi Wicke et al. (2011) melaporkan konversi penggunaan lahan dari hutan ke perkebunan kelapa sawit di Indonesia meningkat dari 100.000 ha pada tahun 1975 menjadi 5,5 juta ha pada tahun 2005.

Namun demikian, detail penelitian yang mengamati pola perubahan penggunaan hutan dan lahan menjadi perkebunan kelapa sawit secara seri waktu (time series), masih sangat terbatas dan masih terdapat perbedaan besar dalam kualitas data dan metode yang dipergunakan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka penelitian untuk menjawab isu-isu yang berkembang berkaitan dengan perubahan tutupan hutan dan lahan menjadi perkebunan sawit berdasarkan data dan informasi secara seri waktu sangat dibutuhkan. Ketersediaan data dan informasi ini sangat penting tidak hanya untuk mengetahui pola perubahan tutupan hutan dan lahan menjadi kelapa sawit di Indonesia, akan tetapi juga dapat menjadi bahan masukan kepada pemerintah Indonesia dalam rangka mengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Dalam studi ini, kajian dilakukan dalam rangka memperoleh data dan informasi terkait dengan perubahan tutupan hutan dan lahan secara time series dari tahun 1990, 2000, 2005, dan 2010 dari. Adapun tujuan studi ini difokuskan untuk mengetahui tutupan dan perubahan hutan dan lahan menjadi perkebunan sawit. Diharapkan dari hasil studi ini akan didapat informasi mengenai perkembangan perkebunan sawit baik dari hutan yang tidak terganggu (primer), hutan yang terganggu (hutan sekunder), lahan kritis atau lahan lainnya termasuk pada lahan gambut. Selain itu diharapkan pula dari hasil studi ini akan dapat memberikan masukan untuk perkiraan CO2 emisi dari penggunaan lahan dan perubahan tutupan hutan dan lahan sebagai bahan rekomendasi untuk skenario pengurangan emisi.

2. BAHAN DAN METODE PENELITIAN
2.1. Lokasi dan Sumber Data

Ruang lingkup kajian penelitian ini meliputi 5 (lima) pulau besar di Sumatera, Kalimantan, Papua, Sulawesi dan Jawa. Sumatera merupakan pengembangan kelapa sawit terbesar di Indonesia sedangkan Papua merupakan daerah yang kemungkinan akan menjadi daerah pengembangan kelapa sawit di masa datang di Indonesia. Pemilihan lokasi kajian ini juga didasarkan bahwa kelima pulau tersebut telah mewakili lebih dari 95% wilayah pengembangan kelapa sawit di Indonesia.

Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah citra Landsat TM 4, 5 dan TM 7 Tahun 1990, 2000, 2005, dan 2010 liputan Sumatra, Kalimantan, Papua, Sulawesi, dan Jawa yang diperoleh atau diunduh dari USGS melalui website glovis.usgs.gov, peta dasar thematik kehutanan dari Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan citra resolusi tinggi dari Google Earth untuk wilayah kajian. Sedangkan data lahan gambut khusus diperoleh dari Wetland International (2003) dan batas administrasi diperoleh dari data administrasi dari Bakosurtanal (2006).

2.2. Analisis Penutupan Lahan dan Analisis Perubahan Penutupan lahan

Pendekatan Multi tingkat (multi stage approach) digunakan dalam kajian ini dengan 2 (dua) data spasial citra satelit yang memiliki resolusi spasial yang berbeda untuk interpretasi penutupan lahan. Tahap pertama, analisa penutupan lahan dilakukan dengan menggunakan citra Landsat, dimana citra Landsat diinterpretasikan untuk menentukan kelas penutup lahan yang ada berdasarkan kunci interpretasi. Sedangkan tahap ke dua, untuk menentukan dan melakukan validasi jenis penutupan lahan yang ada digunakan citra yang memiliki resolusi spasial yang lebih tinggi yang berasal dari Google Earth. Metode validasi digunakan untuk memperoleh konsistensi data dari hasil analisa perbandingan dengan mempergunakan wilayah yang pernah dikaji sebelumnya. Data yang digunakan untuk proses validasi pada kajian ini adalah hasil kajian sebelumnya oleh Tropenbos International Indonesia Programme (TBI) yaitu, untuk wilayah Papua dan Riau.

Klasifikasi penutupan lahan yang digunakan dalam kajian ini berasal dari Kementerian Kehutanan untuk data wilayah Papua, Sumatra, Sulawesi dan Jawa, sedangkan khusus untuk Kalimantan menggunakan klasifikasi penutupan lahan dari Kementerian Pertanian. Berdasarkan dua klasifikasi tersebut kemudian dilakukan pengkelasan ulang menjadi 20 kelas yang disesuaikan dengan tujuan penelitian (Lampiran 1). Analisis yang dilakukan guna memperoleh penutupan lahan adalah analisis secara visual manual. Delineasi dilakukan secara on screen digitations dimana operator/analis GIS langsung melakukan digitasi melalui layar monitor. Sedangkan proses on screen digitations ini dilakukan dengan menggunakan software ARCGIS 9.3.

Perubahan penutupan lahan diperoleh berdasarkan tumpang susun data penutupan lahan beda waktu. Untuk mengetahui luasan dan perubahan dilakukan analisa dengan menggunakan tabel matriks perubahan penutupan lahan.

3. HASIL PENELITIAN

Berdasarkan hasil analisis perubahan tutupan lahan dengan mempergunakan citra satelit dari periode 2000 s.d 2010, diperoleh hasil bahwa hutan lahan kering yang tidak terganggu (primer) di Indonesia mengalami penurunan dari 49 juta ha periode 2000 menurun menjadi 45 juta ha periode 2005 dan kembali menurun hingga menjadi 42 juta ha periode 2010 (Tabel 1). Dilain pihak berdasarkan Tabel 1, secara umum justru terjadi peningkatan luas perkebunan sawit, pertanian lahan kering dan pertambangan dari periode 2000 s.d 2010. Khusus pada perkebunan sawit meningkat cukup pesat dari 3.8 juta ha periode 2000 meningkat menjadi 5.4 juta ha periode 2005 dan mencapai 8 juta ha periode 2010.

Peningkatan pengembangan perkebunan kelapa sawit secara umum di Indonesia setelah periode 2000-2010 tak terlepas dari pertumbuhan ekonomi di Indonesia paska krisis ekonomi. Apalagi setelah itu didukung pula oleh kebijakan nasional tentang perkebunan sawit. Departemen Pertanian mentargetkan untuk mengembangkan hingga 8 juta ha kelapa sawit di tahun 2025, sedangkan Departemen Kehutanan telah menyetujui untuk mengalokasikan hutan konversi termasuk yang dapat digunakan untuk perkebunan kelapa sawit dan pertambangan, sampai 20 juta ha. Pemerintah Indonesia juga telah mengadopsi Kebijakan Energi Nasional tahun 2006 untuk meningkatkan penyerapan biofuel sampai 5% dari konsumsi energi nasional pada tahun 2025, dimana sasaran target pengembangan biofuel di Indonesia akan mengalokasikan 5.25 juta ha untuk perkebunan biofuel hingga tahun 2010, dimana 1.5 juta ha diantaranya adalah perkebunan kelapa sawit.

Selain menganalisa perubahan tutupan lahan seperti tersaji di Tabel 1, analisis tutupan lahan khusus pengembangan kelapa sawit terhadap 5 (lima) pulau besar di Indonesia yaitu pulau Sumatera, Kalimantan, Papua, Sulawesi dan Jawa juga dilakukan (Tabel 2 dan Lampiran 2). Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan bahwa luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada tahun 1990 hanya mencapai 1.3 juta ha akan tetapi hingga tahun 2010 sudah mencapai 8 juta ha, dimana dalam periode 20 tahun luas pengembangan kelapa sawit di Indonesia telah berkembang hampir mencapai 6 (enam) kali lipat.

Berdasarkan Tabel 2, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia terbesar berada di pulau Sumatera, kemudian diikuti oleh pulau Kalimantan, Sulawesi, Papua dan pulau Jawa. Pengembangan perkebunan di kedua pulau (Sumatera dan Kalimantan) merupakan lebih dari 80% dari perkebunan kelapa sawit total di Indonesia. Sedangkan rata-rata per tahun pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia periode 1990 s.d 2000 mencapai 234.100 ha per tahun, periode 2000 s.d 2005 mencapai 319.600 ha per tahun, dan periode 2005 s.d 2010 meningkat mencapai lebih dari setengah juta hektar (Tabel 3).

Tabel 3 menunjukkan bahwa rata-rata per tahun perkembangan perkebunan kelapa sawit di pulau Kalimantan meningkat tajam pada periode 2005 s.d 2010, akan tetapi tidak terjadi di pulau Sumatera. Di pulau Sumatera, rata-rata per tahun perkembangan perkebunan kelapa sawit justru meningkat pada periode 2000-2005, akan tetapi pada periode 2005-2010 justru menurun. Perkembangan pembangunan kelapa sawit di pulau Sumatera menurun pada periode 2005-2010 diperkirakan akibat semakin terbatasnya lahan yang tersedia yang dapat dikonversi menjadi perkebunan sawit. Sedangkan di pulau Jawa pengembangan perkebunan kelapa sawit hanya dilakukan di areal bekas perkebunan (karet) dengan wilayah pengembangan meliputi Jawa Barat dan Jawa Timur. Untuk wilayah lainnya, yaitu Papua, ketertarikan investor untuk mulai berinvestasi kelapa sawit masih lebih kecil jika dibandingkan dengan perkembangan kelapa sawit di pulau Sulawesi yang relatif pesat

Sedangkan dari hasil analisis dengan menggunakan metode overlay antar 2 (dua) data time series, yang kemudian dilanjutkan dengan analisa pivot table terhadap data atributnya untuk mengetahui pola pengembangan kelapa sawit, diperoleh hasil bahwa secara umum pengembangan kelapa sawit di Indonesia pada periode 1990 s.d 2000 masih berasal dari lahan hutan, lahan terlantar (waste land) dan lahan pertanian. Kemudian, berdasarkan hasil analisis seperti tersaji pada Gambar 1 menunjukkan bahwa pada periode 1990-2000 pengembangan kelapa sawit terbanyak berasal dari hutan, baik berupa hutan sekunder (disturbed forest) maupun hutan primer (undisturbed forest).

Hutan sekunder yang telah berubah menjadi sawit pada periode tersebut mencapai 951 ribu ha dan 61% diantaranya berasal dari hutan sekunder di Sumatra. Kemudian yang berasal dari hutan primer seluas 103 ribu ha dimana 92 ribu ha di antaranya berasal dari hutan primer Sumatra. Sementara perkebunan kelapa sawit yang dikembangkan dari areal pertanian, lahan tidak terpakai, dan lahan yang diperuntukkan untuk hutan tanaman (timber plantation), masing-masing seluas 455 ribu ha, 452 ribu ha, dan 452 ribu ha. Dari ketiga tutupan lahan yang telah disebutkan sebelumnya, luasan lahan tidak terpakai yang dikembangkan menjadi area perkebunan kelapa sawit terbesar berasal dari Kalimantan dengan jumlah 57% dari total luas lahan tak terpakai. 

Gambar 1 menunjukkan bahwa periode 2000-2005 perubahan penutupan lahan menjadi kelapa sawit mencapai 2,2 juta ha. Perubahan penutup lahan ini didominasi oleh tipe penutupan lahan pertanian. Perubahan lahan pertanian menjadi area perkebunan kelapa sawit mencapai 1,5 juta ha. Kemudian, perubahan tutupan lahan dari pertanian menjadi perkebunan kelapa sawit terbesar terjadi di Sumatra yang mencapai 1,44 juta ha. Perubahan lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit mencapai 404 ribu ha, dimana 361 ribu ha di antaranya berasal dari hutan sekunder dan 43 ribu ha lainnya berasal dari hutan primer. Dari total luas perubahan lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, seluas 329 ribu ha berasal dari hutan sekunder Kalimantan dan 256 ribu ha berasal dari hutan sekunder Sumatra, sementara sisanya berasal dari Sulawesi dan Papua.

Sedangkan pada periode 2005-2010 luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 8 juta ha, hal ini berarti terjadi peningkatan luas hingga 2,83 juta ha. Perubahan penutupan lahan ini didominasi oleh tipe penutupan lahan pertanian yang mencapai 1,3 juta ha, dimana pulau Sumatra merupakan daerah yang mengalami perubahan tutupan lahan paling besar, yaitu seluas 1,25 juta ha. Kemudian perubahan tutupan lahan terbesar selanjutnya adalah hutan yang terganggu (disturbed forest) seluas 340 ribu ha, sedangkan pada tipe penutupan lahan marginal (waste land) pada periode ini mencapai 206 ribu ha.

Berdasarkan gambar 1 secara umum menunjukkan bahwa selama periode 1990-2000 adalah periode terbesar perkebunan kelapa sawit dibuka dari hutan primer, tetapi menurun selama periode 1990-2000 dan 2000-2010. Studi ini menunjukkan bahwa pengembangan kelapa sawit di Indonesia lebih dari dua dekade tidak selalu dibuka dari hutan primer dan hutan sekunder. Periode 2005-2010, pengembangan kelapa sawit terbesar justru terjadi dari lahan pertanian, diikuti selanjutnya dari hutan sekunder dan lahan marginal. Hasil analisis ini kemudian menunjukkan hasil yang berbeda dengan studi sebelumnya yang menunjukkan bahwa lebih dari 56% perkebunan kelapa sawit di Indonesia dibangun dengan konversi kawasan hutan (Koh dan Wilcove, 2008).

Artikel ini pernah ditampilkan dalam jurnal ilmiah Universitas Negeri Jakarta

Kami Juga Menyediakan Produk – Produk Unggulan dibawah ini

Kacangan Jenis CM Berat 1 kg

kacang kacangan penutup tanah (legume cover crops) dengan berbagai jenis ini merupakan tumbuhan yang berfungsi sebagai pengikat nitrogen sehingga kadar kelembapan tanah akan tetap terjaga. Fungsi dan kestabilan kelembapan ini biasanya dibutuhkan pada masa pertumbuhan pohon karet dan pohon sawit atau sejenisnya dalam

Selengkapnya

Raja Latex Pluss – Solusi Meningkatkan Hasil Sadap Karet, Mati Getah, Kulit Keras Pada Batang Karet

Pengeluaran Getah disadap 2 x lipat atau 40 – 70 % dan meningkatkan kandungan getah kering dan yang mati getah atau kekeringan bisa normal karena ada kandungan vitamin 40 % yang tidak dimiliki obat poles selain Raja Latex Pluss dan enzim 48 %

Selengkapnya

Jual Benih Sawit Lonsum, PPKS, dan Socfindo

Dari segi imbal hasil, secara umum bisnis kebun sawit memberikan return yang jauh lebih besar dibandingkan dengan property rumah, kHUSUS bAGI ANDA YANG MENCARI BENIH SAWIT UNGGUL KAMI MENYEDIAKANNYA. Kami Menyediakan Benih Sawit Lonsum, PPKS, dan Socfindo

Selengkapnya

NPK HUMAGROW HUMID ACID : 6-30-6 PLUS SPesial Khusus Pupuk Karet Dan Sawit, dan Tanaman Lainnya

Kelebihan Pupuk NPK Humagrow yaitu : Memperbaiki Unsur Unsur tanah dan tanaman keras, yang bisa menghasilkan 2 kali lipat dari hasil sebelumnya 1. Memperbaiki dan meningkatkan dan membentuk pertumbuhan Akar yang kuat 2. Tanah lebih Remah dan lebih lama menahan air, sehingga 99 % pemupukan bisa diserap oleh tanaman, dan

Selengkapnya

Pupuk Organik Buah dan Sayuran Alphamien , Membuat Tanaman Lebih Sehat dan Energik Hasil Panen Meningkat,

Alphamien – Nutrisi Organik Cair, Membuat Tanaman Lebih Sehat dan Energik
Hasil Panen Meningkat, Ramah Lingkungan aman untuk manusia dan ternak, Manfaat :

Sayuran, buah dan tanaman hias/bunga menjadi lebih bercahaya dan sehat
meningkatkan mutu dan bobot hasil panen
menghilangkan residu pestisida yang menempel didaun bunga dan buah

Selengkapnya

Previous

Studi Kasus di 5 Pulau Besar di Indonesia periode 1990 s/d 2010 (Bagian Kedua Selesai)



4. PEMBAHASAN

Indonesia mengalami degradasi lahan yang cukup luas dimana akhir-akhir ini justru menjadikan lahan tersebut sebagai wilayah terbuka (open access). Akibatnya, setelah masa kejayaan pengusahaan hutan berlalu dengan semakin berkurangnya jumlah HPH atau sekarang disebut dengan Ijin Usaha Pemungutan Hasi Hutan Kayu – IUPHHK, maka muncul berbagai bentuk pemanfaatan sumber daya alam seperti perkebunan kelapa sawit, pertambangan mineral, permukiman, dan infrastruktur.
Dalam kaitannya dengan pembangunan perkebunan kelapa sawit, hasil penelitian ini menunjukkan adanya variasi untuk masing-masing pulau di Indonesia dalam hal konversi hutan – terutama yang berasal dari hutan alam yang belum terganggu (UDF) menjadi kebun kelapa sawit. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa di pulau Sumatra untuk periode 2005 s.d 2010 sebagian besar perkebunan kelapa sawit berkembang justru bukan di hutan alam yang tidak terganggu, akan tetapi pada lahan-lahan pertanian dan lahan tidak terpakai.

Akan tetapi, berdasarkan hasil penelitian ini memang terbukti bahwa di pulau Kalimantan dan Papua telah terjadi penggunaan hutan alam tidak terganggu (hutan primer) menjadi perkebunan kelapa sawit walau dalam jumlah kecil. Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bahwa di seluruh Indonesia, jumlah total konversi hutan alam tidak terganggu menjadi perkebunan kelapa sawit seluas 18,235 ha (0.71%). Sementara itu, perubahan hutan sekunder menjadi perkebunan kelapa sawit mencapai 931,900 ha (36%), dimana sebagian terjadi di pulau Kalimantan.

Khusus di Pulau Sumatra dimana sebagian besar pembangunan kebun kelapa sawit berasal dari areal pertanian (kebun karet), kemudian diikuti dengan wilayah yang dianggap tidak berguna – karena umumnya tidak ada pengelolaan (waste land), dan sejumlah kecil berasal dari hutan sekunder. Perubahan dari kebun karet menjadi kebun kelapa sawit di Sumatra tentunya memerlukan penelitian lanjutan. Sementara ini, diduga perubahan ini terjadi karena ketersediaan tenaga pemanen karet yang terbatas dan nilai hasil kelapa sawit yang lebih menguntungkan.

Hasil menarik lainnya dari penelitian ini adalah kenyataan akan posisi Indonesia dalam hal luasan kebun kelapa sawit dan produksinya. Meskipun Indonesia telah melampaui luas total dibanding Malaysia pada tahun 2000, tetapi produksi CPO Indonesia masih lebih rendah dibanding dengan Malaysia. Baru setelah luasan kebun mencapai 5 juta ha pada tahun 2006, maka produksi CPO Indonesia melampaui Malaysia. Oleh karena itu, Indonesia kini menjadi produsen CPO terbesar di dunia dan mensuplai lebih dari 50% CPO dunia (Gambar 2).

Gambar 2. Produksi dan Ekspor Minyak Kelapa Sawit di Indonesia dan Malaysia (Sumber: USDA ERS, 2012)
Meskipun hasil penelitian ini menunjukkan kecenderungan penggunaan hutan yang belum terganggu secara relatif sedikit, akan tetapi dampak terhadap hilangnya keanekaragaman hayati, erosi, dan emisi gas rumah kaca kemungkinan cukup siginifikan. Selain itu diharapkan pula dari ketersediaan data yang diperoleh dari penelitian ini dapat dipakai sebagai bahan monitoring dan evaluasi emisi gas rumah kaca.

Untuk menghindari informasi yang tidak tepat, analisa masing-masing wilayah dengan detail perlu dilakukan mengingat dalam penelitian ini juga menemukan bervariasi kejadian di masing-masing wilayah. Oleh karenanya, menggeneralisir kenyataan pada keadaan satu tempat ke dalam keadaan di tempat lain, walaupun dalam sebuah Negara yang sama, seringkali tidak tepat.

5. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan kelapa sawit di Indonesia lebih dari dua dekade tidak selalu dibuka dari hutan primer dan hutan sekunder. Pada periode 2005-2010, dimana pengembangan kelapa sawit terbesar justru terjadi dari lahan pertanian yang diikuti selanjutnya dari hutan sekunder dan lahan marginal.
Selain itu, perkembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia menunjukkan progres yang paling besar baik dalam hal luasan maupun produksi. Perkembangan ini terutama didukung oleh ketersediaan lahan – terutama yang telah mengalami gangguan atau mengalami penurunan kualitas – dalam jumlah yang besar. Perkembangan yang besar terjadi di Sumatra dan Kalimantan yang ditopang oleh perkembangan infrastruktur yang cukup baik di ke dua wilayah tersebut.

Perkembangan tersebut kemungkinan akan mengalami pelambatan, terutama di lahan bergambut karena adanya Instruksi Presiden mengenai penundaan pemberian ijin di seluruh wilayah bergambut (Inpres 10 tahun 2011). Namun demikian, penghentian atau penundaan ijin ini mungkin hanya akan efektif bagi perusahaan besar. Penggunaan lahan bergambut oleh petani sawit perseorangan kemungkinan akan sulit untuk dapat dilarang atau dihentikan. Hal ini disebabkan terutama karena lemahnya penegakan hukum dalam penggunaan lahan yang selama ini tidak diurus dan dianggap tidak bermanfaat tersebut.

Saran

Data dan informasi dari hasil penelitian ini tidak hanya dapat dimanfaatkan sebagai data awal dan data dasar, akan tetapi juga dapat dipergunakan untuk keperluan monitoring dan evaluasi dan untuk menjawab berbagai keraguan dan tuduhan yang sering memojokkan Indonesia dalam dunia perdagangan internasional. Selain itu, upaya mempromosikan pengelolaan kelapa sawit yang lestari baik menggunakan standart RSPO maupun ISPO patut disambut baik dan didukung. Konsep pengakuan dan penyisihan wilayah dengan nilai konservasi tinggi diyakini dapat membantu kelestarian pembangunan perkebunan kelapa sawit.
Kajian time series lebih lanjut diperlukan untuk tahun-tahun berikutnya dengan interval yang lebih rapat. Jika hal ini dilakukan maka kebijakan dan implementasi dapat diperbaiki. Kegiatan peninjauan dan pengujian lapangan akan lebih memperbaiki kecermatan analisis, apalagi dengan melibatkan para pihak yang lebih luas agar hasil analisis yang diperoleh lebih sempurna.

Ucapan Terima Kasih

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini berasal dari beberapa sumber, dan untuk itu penulis pada kesempatan ini menyampaikan terima kasih kepada: RSPO – Roundtable Sustainable Palm Oil, yang telah mendanai sebagian dari pengumpulan data untuk pulau Sumatra, Kalimantan, dan Papua. Pusat Penelitian Tanah Bogor, yang telah memberikan kontribusi data awal untuk Kalimantan dan Papua, dan kepada GAPKI – Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia yang telah menyediakan data dan kajiannya untuk Pulau Sulawesi dan Jawa.

Oleh: Petrus Gunarso, Manjela Eko Hartoyo dan Yuli Nugroho (Tropenbos International Indonesia Programme)

Kami Juga Menyediakan Produk – Produk Unggulan dibawah ini

Kacangan Jenis CM Berat 1 kg

kacang kacangan penutup tanah (legume cover crops) dengan berbagai jenis ini merupakan tumbuhan yang berfungsi sebagai pengikat nitrogen sehingga kadar kelembapan tanah akan tetap terjaga. Fungsi dan kestabilan kelembapan ini biasanya dibutuhkan pada masa pertumbuhan pohon karet dan pohon sawit atau sejenisnya dalam

Selengkapnya

Raja Latex Pluss – Solusi Meningkatkan Hasil Sadap Karet, Mati Getah, Kulit Keras Pada Batang Karet

Pengeluaran Getah disadap 2 x lipat atau 40 – 70 % dan meningkatkan kandungan getah kering dan yang mati getah atau kekeringan bisa normal karena ada kandungan vitamin 40 % yang tidak dimiliki obat poles selain Raja Latex Pluss dan enzim 48 %

Selengkapnya

Jual Benih Sawit Lonsum, PPKS, dan Socfindo

Dari segi imbal hasil, secara umum bisnis kebun sawit memberikan return yang jauh lebih besar dibandingkan dengan property rumah, kHUSUS bAGI ANDA YANG MENCARI BENIH SAWIT UNGGUL KAMI MENYEDIAKANNYA. Kami Menyediakan Benih Sawit Lonsum, PPKS, dan Socfindo

Selengkapnya

NPK HUMAGROW HUMID ACID : 6-30-6 PLUS SPesial Khusus Pupuk Karet Dan Sawit, dan Tanaman Lainnya

Kelebihan Pupuk NPK Humagrow yaitu : Memperbaiki Unsur Unsur tanah dan tanaman keras, yang bisa menghasilkan 2 kali lipat dari hasil sebelumnya 1. Memperbaiki dan meningkatkan dan membentuk pertumbuhan Akar yang kuat 2. Tanah lebih Remah dan lebih lama menahan air, sehingga 99 % pemupukan bisa diserap oleh tanaman, dan

Selengkapnya

Pupuk Organik Buah dan Sayuran Alphamien , Membuat Tanaman Lebih Sehat dan Energik Hasil Panen Meningkat,

Alphamien – Nutrisi Organik Cair, Membuat Tanaman Lebih Sehat dan Energik
Hasil Panen Meningkat, Ramah Lingkungan aman untuk manusia dan ternak, Manfaat :

Sayuran, buah dan tanaman hias/bunga menjadi lebih bercahaya dan sehat
meningkatkan mutu dan bobot hasil panen
menghilangkan residu pestisida yang menempel didaun bunga dan buah

Selengkapnya

Previous

Studi Kasus di 5 Pulau Besar di Indonesia periode 1990 s/d 2010 (Bagian Kedua Selesai)



Advertisements

4. PEMBAHASAN

Indonesia mengalami degradasi lahan yang cukup luas dimana akhir-akhir ini justru menjadikan lahan tersebut sebagai wilayah terbuka (open access). Akibatnya, setelah masa kejayaan pengusahaan hutan berlalu dengan semakin berkurangnya jumlah HPH atau sekarang disebut dengan Ijin Usaha Pemungutan Hasi Hutan Kayu – IUPHHK, maka muncul berbagai bentuk pemanfaatan sumber daya alam seperti perkebunan kelapa sawit, pertambangan mineral, permukiman, dan infrastruktur.
Dalam kaitannya dengan pembangunan perkebunan kelapa sawit, hasil penelitian ini menunjukkan adanya variasi untuk masing-masing pulau di Indonesia dalam hal konversi hutan – terutama yang berasal dari hutan alam yang belum terganggu (UDF) menjadi kebun kelapa sawit. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa di pulau Sumatra untuk periode 2005 s.d 2010 sebagian besar perkebunan kelapa sawit berkembang justru bukan di hutan alam yang tidak terganggu, akan tetapi pada lahan-lahan pertanian dan lahan tidak terpakai.

Akan tetapi, berdasarkan hasil penelitian ini memang terbukti bahwa di pulau Kalimantan dan Papua telah terjadi penggunaan hutan alam tidak terganggu (hutan primer) menjadi perkebunan kelapa sawit walau dalam jumlah kecil. Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bahwa di seluruh Indonesia, jumlah total konversi hutan alam tidak terganggu menjadi perkebunan kelapa sawit seluas 18,235 ha (0.71%). Sementara itu, perubahan hutan sekunder menjadi perkebunan kelapa sawit mencapai 931,900 ha (36%), dimana sebagian terjadi di pulau Kalimantan.

Khusus di Pulau Sumatra dimana sebagian besar pembangunan kebun kelapa sawit berasal dari areal pertanian (kebun karet), kemudian diikuti dengan wilayah yang dianggap tidak berguna – karena umumnya tidak ada pengelolaan (waste land), dan sejumlah kecil berasal dari hutan sekunder. Perubahan dari kebun karet menjadi kebun kelapa sawit di Sumatra tentunya memerlukan penelitian lanjutan. Sementara ini, diduga perubahan ini terjadi karena ketersediaan tenaga pemanen karet yang terbatas dan nilai hasil kelapa sawit yang lebih menguntungkan.

Hasil menarik lainnya dari penelitian ini adalah kenyataan akan posisi Indonesia dalam hal luasan kebun kelapa sawit dan produksinya. Meskipun Indonesia telah melampaui luas total dibanding Malaysia pada tahun 2000, tetapi produksi CPO Indonesia masih lebih rendah dibanding dengan Malaysia. Baru setelah luasan kebun mencapai 5 juta ha pada tahun 2006, maka produksi CPO Indonesia melampaui Malaysia. Oleh karena itu, Indonesia kini menjadi produsen CPO terbesar di dunia dan mensuplai lebih dari 50% CPO dunia (Gambar 2).

Gambar 2. Produksi dan Ekspor Minyak Kelapa Sawit di Indonesia dan Malaysia (Sumber: USDA ERS, 2012)
Meskipun hasil penelitian ini menunjukkan kecenderungan penggunaan hutan yang belum terganggu secara relatif sedikit, akan tetapi dampak terhadap hilangnya keanekaragaman hayati, erosi, dan emisi gas rumah kaca kemungkinan cukup siginifikan. Selain itu diharapkan pula dari ketersediaan data yang diperoleh dari penelitian ini dapat dipakai sebagai bahan monitoring dan evaluasi emisi gas rumah kaca.

Untuk menghindari informasi yang tidak tepat, analisa masing-masing wilayah dengan detail perlu dilakukan mengingat dalam penelitian ini juga menemukan bervariasi kejadian di masing-masing wilayah. Oleh karenanya, menggeneralisir kenyataan pada keadaan satu tempat ke dalam keadaan di tempat lain, walaupun dalam sebuah Negara yang sama, seringkali tidak tepat.

5. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan kelapa sawit di Indonesia lebih dari dua dekade tidak selalu dibuka dari hutan primer dan hutan sekunder. Pada periode 2005-2010, dimana pengembangan kelapa sawit terbesar justru terjadi dari lahan pertanian yang diikuti selanjutnya dari hutan sekunder dan lahan marginal.
Selain itu, perkembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia menunjukkan progres yang paling besar baik dalam hal luasan maupun produksi. Perkembangan ini terutama didukung oleh ketersediaan lahan – terutama yang telah mengalami gangguan atau mengalami penurunan kualitas – dalam jumlah yang besar. Perkembangan yang besar terjadi di Sumatra dan Kalimantan yang ditopang oleh perkembangan infrastruktur yang cukup baik di ke dua wilayah tersebut.

Perkembangan tersebut kemungkinan akan mengalami pelambatan, terutama di lahan bergambut karena adanya Instruksi Presiden mengenai penundaan pemberian ijin di seluruh wilayah bergambut (Inpres 10 tahun 2011). Namun demikian, penghentian atau penundaan ijin ini mungkin hanya akan efektif bagi perusahaan besar. Penggunaan lahan bergambut oleh petani sawit perseorangan kemungkinan akan sulit untuk dapat dilarang atau dihentikan. Hal ini disebabkan terutama karena lemahnya penegakan hukum dalam penggunaan lahan yang selama ini tidak diurus dan dianggap tidak bermanfaat tersebut.

Saran

Data dan informasi dari hasil penelitian ini tidak hanya dapat dimanfaatkan sebagai data awal dan data dasar, akan tetapi juga dapat dipergunakan untuk keperluan monitoring dan evaluasi dan untuk menjawab berbagai keraguan dan tuduhan yang sering memojokkan Indonesia dalam dunia perdagangan internasional. Selain itu, upaya mempromosikan pengelolaan kelapa sawit yang lestari baik menggunakan standart RSPO maupun ISPO patut disambut baik dan didukung. Konsep pengakuan dan penyisihan wilayah dengan nilai konservasi tinggi diyakini dapat membantu kelestarian pembangunan perkebunan kelapa sawit.
Kajian time series lebih lanjut diperlukan untuk tahun-tahun berikutnya dengan interval yang lebih rapat. Jika hal ini dilakukan maka kebijakan dan implementasi dapat diperbaiki. Kegiatan peninjauan dan pengujian lapangan akan lebih memperbaiki kecermatan analisis, apalagi dengan melibatkan para pihak yang lebih luas agar hasil analisis yang diperoleh lebih sempurna.

Ucapan Terima Kasih

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini berasal dari beberapa sumber, dan untuk itu penulis pada kesempatan ini menyampaikan terima kasih kepada: RSPO – Roundtable Sustainable Palm Oil, yang telah mendanai sebagian dari pengumpulan data untuk pulau Sumatra, Kalimantan, dan Papua. Pusat Penelitian Tanah Bogor, yang telah memberikan kontribusi data awal untuk Kalimantan dan Papua, dan kepada GAPKI – Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia yang telah menyediakan data dan kajiannya untuk Pulau Sulawesi dan Jawa.

Oleh: Petrus Gunarso, Manjela Eko Hartoyo dan Yuli Nugroho (Tropenbos International Indonesia Programme)

Kami Juga Menyediakan Produk – Produk Unggulan dibawah ini

Kacangan Jenis CM Berat 1 kg

kacang kacangan penutup tanah (legume cover crops) dengan berbagai jenis ini merupakan tumbuhan yang berfungsi sebagai pengikat nitrogen sehingga kadar kelembapan tanah akan tetap terjaga. Fungsi dan kestabilan kelembapan ini biasanya dibutuhkan pada masa pertumbuhan pohon karet dan pohon sawit atau sejenisnya dalam

Selengkapnya

Raja Latex Pluss – Solusi Meningkatkan Hasil Sadap Karet, Mati Getah, Kulit Keras Pada Batang Karet

Pengeluaran Getah disadap 2 x lipat atau 40 – 70 % dan meningkatkan kandungan getah kering dan yang mati getah atau kekeringan bisa normal karena ada kandungan vitamin 40 % yang tidak dimiliki obat poles selain Raja Latex Pluss dan enzim 48 %

Selengkapnya

Jual Benih Sawit Lonsum, PPKS, dan Socfindo

Dari segi imbal hasil, secara umum bisnis kebun sawit memberikan return yang jauh lebih besar dibandingkan dengan property rumah, kHUSUS bAGI ANDA YANG MENCARI BENIH SAWIT UNGGUL KAMI MENYEDIAKANNYA. Kami Menyediakan Benih Sawit Lonsum, PPKS, dan Socfindo

Selengkapnya

NPK HUMAGROW HUMID ACID : 6-30-6 PLUS SPesial Khusus Pupuk Karet Dan Sawit, dan Tanaman Lainnya

Kelebihan Pupuk NPK Humagrow yaitu : Memperbaiki Unsur Unsur tanah dan tanaman keras, yang bisa menghasilkan 2 kali lipat dari hasil sebelumnya 1. Memperbaiki dan meningkatkan dan membentuk pertumbuhan Akar yang kuat 2. Tanah lebih Remah dan lebih lama menahan air, sehingga 99 % pemupukan bisa diserap oleh tanaman, dan

Selengkapnya

Pupuk Organik Buah dan Sayuran Alphamien , Membuat Tanaman Lebih Sehat dan Energik Hasil Panen Meningkat,

Alphamien – Nutrisi Organik Cair, Membuat Tanaman Lebih Sehat dan Energik
Hasil Panen Meningkat, Ramah Lingkungan aman untuk manusia dan ternak, Manfaat :

Sayuran, buah dan tanaman hias/bunga menjadi lebih bercahaya dan sehat
meningkatkan mutu dan bobot hasil panen
menghilangkan residu pestisida yang menempel didaun bunga dan buah

Selengkapnya

Previous

Sawit Indonesia – Merancang Model Csr Yang Berbasis Pada Kaum Petani Di Indonesia (Bagian Pertama)



INTISARI

Setiap perusahaan dalam pengelolaannya tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh lingkungan bisnis eksternal dan demikian sebaliknya, setiap keputusan bisnis dalam menjalankan usahanya juga akan berpengaruh pada lingkungan bisnis eksternal. Adanya saling mempengaruhi tersebut menuntut perusahaan untuk memasukkan elemen lingkungan bisnis dalam setiap pengambilan keputusan strategis perusahaan.

CSR menawarkan strategi dan alat untuk mengatasi isu dan tuntutan dari berbagai kelompok dalam masyarakat yang ditujukan pada perusahaan.
Dalam menganalisis CSR kita harus benar-benar paham dan mengenali apa yang sesungguhnya dibutuhkan oleh masyarakat sehingga model CSR yang diaplikasikan tidak menyimpang jauh dari analisis kebutuhan yang ada, sedangkan dalam melakukan analisis terhadap masyarakat tentunya kita harus memerhatikan apa sebenarnya yang dilakukan mayoritas penduduk Indonesia untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Dengan struktur masyarakat Indonesia yang mayoritas adalah petani semestinya para pelaku usaha dapat melihat peluang dan tantangan apa yang seharusnya dilakukan dalam mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya yang berada di sekitar perusahaan. Tulisan ini bertujuan untuk merancang sebuah model CSR yang berdasarkan pada isu dan kebutuhan kaum petani sebagai mayoritas penduduk Indonesia.

Model tersebut diharapkan dapat dijadikan sebagai kerangka kerja bagi para praktisi CSR yang ingin membangun program dengan memprioritaskan kepentingan kaum petani di Indonesia. Berhubung sebagian besar pekerjaan masyarakat Indonesia sebagai petani, maka semestinya perusahaan-perusahaan agro atau yang terkait dapat menggunakan kesempatan emas ini untuk menyusun kembali model CSR mereka.

Penulis berharap agar tulisan ini dapat dilanjutkan dengan riset-riset lapangan di masa mendatang untuk pengujian empiris.

Isu petani, kebutuhan petani, kebijakan pemerintah, model CSR

1. PENDAHULUAN

Sebagai entitas bisnis, setiap perusahaan dalam pengelolaannya tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh lingkungan bisnis eksternal. Sebaliknya, setiap keputusan bisnis dalam menjalankan usahanya juga akan berpengaruh pada lingkungan bisnis eksternal. Adanya saling mempengaruhi tersebut menuntut perusahaan untuk memasukkan elemen lingkungan bisnis dalam setiap pengambilan keputusan strategis perusahaan. Keputusan strategis diarahkan pada terbangunnya hubungan harmonis di antara perusahaan, pemangku kepentingan, dan lingkungan sekitar perusahaan. Harmonisasi tersebut menjadi salah satu variabel yang menentukan keberlanjutan dan pertumbuhan usaha perusahaan pada masa yang akan datang. Salah satu alat untuk mencapai harmonisasi tersebut adalah corporate social responsibility (CSR).

Corporate social responsibility telah cukup lama menarik perhatian banyak perusahaan, karena terbukti dapat mendukung keberlanjutan dari operasi perusahaan. Matten (2006) berargumen bahwa dalam situasi-situasi tertentu, CSR (dalam bentuk investasi filantropis) akan dapat menciptakan keunggulan bersaing jangka panjang bagi perusahaan. Selain itu, CSR dapat menyeimbangkan keragaman kepentingan dari para pemangku kepentingan. CSR menawarkan strategi dan alat untuk mengatasi isu dan tuntutan dari berbagai kelompok dalam masyarakat yang ditujukan pada perusahaan. Dengan CSR, perusahaan akan memeroleh berbagai solusi untuk menyelesaikan semua kepentingan kelompok-kelompok dalam masyarakat yang berbeda-beda dan solusi tersebut dapat diterima oleh semua pihak yang terlibat (Matten, 2006).

Istilah CSR di Indonesia semakin populer digunakan sejak tahun 1990-an. Beberapa perusahaan sebenarnya telah lama melakukan corporate social activity (CSA) atau aktivitas sosial perusahaan. Walaupun tidak menamainya sebagai CSR, secara faktual aksinya mendekati konsep CSR yang merepresentasikan bentuk peran serta dan kepedulian perusahaan terhadap aspek sosial dan lingkungan. Melalui konsep investasi sosial perusahaan seat belt, sejak tahun 2003 Departemen Sosial tercatat sebagai lembaga pemerintah yang aktif dalam mengembangkan konsep CSR dan melakukan advokasi kepada berbagai perusahaan nasional. Selain itu, CSR di Indonesia secara gencar dikampanyekan oleh Corporate Forum for Community Development (CFCD) pada tahun 2002 dan Indonesia Business Links (IBL) yang berdiri pada tahun 1998.

Kepedulian sosial perusahaan terutama didasari alasan bahwa kegiatan perusahaan membawa dampak bagi kondisi lingkungan, sosial, dan ekonomi masyarakat, khususnya di sekitar perusahaan beroperasi. Selain itu, para pemangku kepentingan sebagai pihak yang berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan atau pihak-pihak yang baik secara langsung maupun tidak langsung terkena dampak dari kegiatan perusahaan, bukan hanya terdiri dari para pemegang saham melainkan pula para pegawai dan keluarganya, pelanggan, pemasok, masyarakat sekitar perusahaan, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, media massa, serta pemerintah. Jenis dan prioritas para pemangku kepentingan relatif berbeda antara satu perusahaan dengan lainnya, tergantung pada bisnis inti perusahaan yang bersangkutan.

Di samping itu, menjadi kesepahaman umum bahwa CSR yang dilakukan di berbagai daerah memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Dengan demikian, CSR yang dilakukan oleh satu perusahaan dengan perusahaan lainnya juga akan ada perbedaan, di mana perbedaan tersebut tidak menimbulkan tingkat disparitas yang jauh antara kebutuhan masyarakat dan keinginan perusahaan itu sendiri untuk menjalankan CSR-nya. Dari berbagai literatur ditemukan bahwa setiap negara memiliki ciri khas dan karakteristik masyarakat yang berbeda sehingga kegiatan CSR yang diterapkan juga tidak sama. Sebagai contoh, kegiatan CSR di negara-negara Eropa atau Amerika dilakukan sesuai dengan kebutuhan masyarakat mayoritas di sana dan terkait dengan industri mayoritas. Demikian juga dengan negara Indonesia di mana sebagian besar penduduknya adalah petani sehingga sumberdaya alam yang lebih diolah juga terkait dengan pertanian, dan untuk itu program CSR yang tepat guna adalah di bidang yang kaitannya dengan pertanian. Selanjutnya, perlu dipikirkan model pertanian yang bagaimanakah yang dapat memberikan kesempatan pada masyarakat di sekitar perusahaan sesuai dengan kemampuan, baik dari sumberdaya alam maupun dari keahlian.

Dalam implementasinya, perusahaan bersama-sama masyarakat melakukan adaptasi-adaptasi yang merupakan bagian dari penguatan kegiatan yang berkelanjutan tersebut. Pro dan kontra dalam menentukan kegiatan yang sesuai dengan keinginan bisa menimbulkan perdebatan yang lama karena perbedaan persepsi antarpihak. Untuk itu, penentuan kegiatan atau program CSR hendaknya berdasarkan pada analisis kebutuhan (needs analysis) masyarakat, bukan keinginan mereka apalagi keinginan perusahaan. Di samping itu, perlu dipertimbangkan pula isu-isu yang beredar dan kebijakan pertanian di Indonesia sebagai masukan untuk perumusan program CSR. Dengan demikian, tulisan ini bertujuan untuk merancang sebuah model CSR yang berdasarkan pada isu dan kebutuhan kaum petani sebagai mayoritas penduduk Indonesia.

2. TINJAUAN TEORI
2.1 KONSEP CSR

Konsep Corporate Social Responsibility (CSR) mengalami perkembangan dari dekade ke dekade (Carrol, 1979: 497). Pada awal tahun 1930-an, Wendell Wilkie telah membantu para pelaku bisnis untuk merasakan tanggung jawab sosial. Berbagai literatur menyebutkan bahwa era modern CSR ditandai dengan publikasi tulisan Howard R. Bowen yang berjudul “Social Responsibility of the Businessman” pada tahun 1953. Setelah terbitnya buku tersebut, banyak peneliti membahas topik CSR tanpa adanya konsensus mengenai konsep CSR yang dimaksudkan.

Hasil penelitian Lee (2009) menunjukkan bahwa terdapat setidak-tidaknya empat perbedaan di antara konsep CSR pada era 1950 hingga 1960-an dengan periode 1990-an. Perbedaan meliputi tingkat analisis, orientasi teori, orientasi etika, dan hubungan di antara CSR dengan Corporate Social Performance (CSP). Tingkat analisis CSR hingga era 1960-an difokuskan pada aspek sosial-makro, sedangkan pada era 1990-an mengarah pada organisasional. Orientasi teori CSR pada era lama adalah membangun etika atau tanggung jawab yang kemudian berubah menjadi manajerial. Pada era 1950 hingga 1960-an, orientasi etika pada umumnya ditunjukkan oleh perusahaan secara eksplisit, namun pada era 1990-an cenderung hanya bersifat implisit. Selanjutnya, hubungan di antara CSR dan CSP pada era lama lebih eksklusif dan seringkali tanpa diskusi. Pola hubungan ini diperbaiki dan berlangsung dengan erat pada era 1990-an.

Suharto (2008: 1-2) mencatat bahwa dalam konteks global, istilah CSR mulai digunakan sejak tahun 1970-an dan semakin populer terutama setelah kehadiran buku “Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business” pada tahun 1998 yang merupakan karya dari John Elkington. Elkington mengembangkan tiga komponen penting pembangunan berkelanjutan, yakni pertumbuhan ekonomi, proteksi lingkungan, dan keadilan sosial. Ketiga komponen bersumber dari World Commission on Environment and Development (WCED) dalam Brundtland Report (1987). Elkington mengemas CSR ke dalam tiga fokus yang disingkat 3P, yaitu profit, people, dan planet. Perusahaan yang baik tidak hanya memburu keuntungan ekonomi belaka, melainkan memiliki pula kepedulian terhadap kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.

Untuk CSR sendiri menunjuk pada kewajiban perusahaan kepada masyarakat atau lebih spesifik kepada para pemangku kepentingan perusahaan, yakni mereka yang terpengaruh oleh kebijakan dan praktik perusahaan (Smith, 2003). Selain itu, menurut Bank Dunia, CSR dapat didefinisikan sebagai komitmen bisnis untuk kontribusi pengembangan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan karyawan dan wakil mereka, komunitas lokal dan masyarakat secara luas untuk meningkatkan kualitas kehidupan, yang baik untuk bisnis dan pengembangan (Swa, Desember 2005).

Walaupun terdapat banyak definisi CSR yang beredar di kalangan akademisi dan praktisi, namun hingga saat ini belum terdapat konsensus definisi atau definisi tunggal untuk CSR. Akan tetapi, dengan semakin banyaknya perusahaan yang berpartisipasi dalam perlombaan perolehan penghargaan-penghargaan CSR serta penerbitan laporan-laporan CSR dan pelatihan-pelatihan CSR Officers, maka tampak bahwa CSR itu lebih digerakkan oleh kesadaran ketimbang oleh paksaan, mengingat hukum CSR di Indonesia masih berada di zona abu-abu.

Kami Juga Menyediakan Produk – Produk Unggulan dibawah ini

Kacangan Jenis CM Berat 1 kg

kacang kacangan penutup tanah (legume cover crops) dengan berbagai jenis ini merupakan tumbuhan yang berfungsi sebagai pengikat nitrogen sehingga kadar kelembapan tanah akan tetap terjaga. Fungsi dan kestabilan kelembapan ini biasanya dibutuhkan pada masa pertumbuhan pohon karet dan pohon sawit atau sejenisnya dalam

Selengkapnya

Raja Latex Pluss – Solusi Meningkatkan Hasil Sadap Karet, Mati Getah, Kulit Keras Pada Batang Karet

Pengeluaran Getah disadap 2 x lipat atau 40 – 70 % dan meningkatkan kandungan getah kering dan yang mati getah atau kekeringan bisa normal karena ada kandungan vitamin 40 % yang tidak dimiliki obat poles selain Raja Latex Pluss dan enzim 48 %

Selengkapnya

Jual Benih Sawit Lonsum, PPKS, dan Socfindo

Dari segi imbal hasil, secara umum bisnis kebun sawit memberikan return yang jauh lebih besar dibandingkan dengan property rumah, kHUSUS bAGI ANDA YANG MENCARI BENIH SAWIT UNGGUL KAMI MENYEDIAKANNYA. Kami Menyediakan Benih Sawit Lonsum, PPKS, dan Socfindo

Selengkapnya

NPK HUMAGROW HUMID ACID : 6-30-6 PLUS SPesial Khusus Pupuk Karet Dan Sawit, dan Tanaman Lainnya

Kelebihan Pupuk NPK Humagrow yaitu : Memperbaiki Unsur Unsur tanah dan tanaman keras, yang bisa menghasilkan 2 kali lipat dari hasil sebelumnya 1. Memperbaiki dan meningkatkan dan membentuk pertumbuhan Akar yang kuat 2. Tanah lebih Remah dan lebih lama menahan air, sehingga 99 % pemupukan bisa diserap oleh tanaman, dan

Selengkapnya

Pupuk Organik Buah dan Sayuran Alphamien , Membuat Tanaman Lebih Sehat dan Energik Hasil Panen Meningkat,

Alphamien – Nutrisi Organik Cair, Membuat Tanaman Lebih Sehat dan Energik
Hasil Panen Meningkat, Ramah Lingkungan aman untuk manusia dan ternak, Manfaat :

Sayuran, buah dan tanaman hias/bunga menjadi lebih bercahaya dan sehat
meningkatkan mutu dan bobot hasil panen
menghilangkan residu pestisida yang menempel didaun bunga dan buah

Selengkapnya

Previous

Sawit Indonesia – Merancang Model Csr Yang Berbasis Pada Kaum Petani Di Indonesia (Bagian Pertama)



Advertisements

INTISARI

Setiap perusahaan dalam pengelolaannya tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh lingkungan bisnis eksternal dan demikian sebaliknya, setiap keputusan bisnis dalam menjalankan usahanya juga akan berpengaruh pada lingkungan bisnis eksternal. Adanya saling mempengaruhi tersebut menuntut perusahaan untuk memasukkan elemen lingkungan bisnis dalam setiap pengambilan keputusan strategis perusahaan.

CSR menawarkan strategi dan alat untuk mengatasi isu dan tuntutan dari berbagai kelompok dalam masyarakat yang ditujukan pada perusahaan.
Dalam menganalisis CSR kita harus benar-benar paham dan mengenali apa yang sesungguhnya dibutuhkan oleh masyarakat sehingga model CSR yang diaplikasikan tidak menyimpang jauh dari analisis kebutuhan yang ada, sedangkan dalam melakukan analisis terhadap masyarakat tentunya kita harus memerhatikan apa sebenarnya yang dilakukan mayoritas penduduk Indonesia untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Dengan struktur masyarakat Indonesia yang mayoritas adalah petani semestinya para pelaku usaha dapat melihat peluang dan tantangan apa yang seharusnya dilakukan dalam mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya yang berada di sekitar perusahaan. Tulisan ini bertujuan untuk merancang sebuah model CSR yang berdasarkan pada isu dan kebutuhan kaum petani sebagai mayoritas penduduk Indonesia.

Model tersebut diharapkan dapat dijadikan sebagai kerangka kerja bagi para praktisi CSR yang ingin membangun program dengan memprioritaskan kepentingan kaum petani di Indonesia. Berhubung sebagian besar pekerjaan masyarakat Indonesia sebagai petani, maka semestinya perusahaan-perusahaan agro atau yang terkait dapat menggunakan kesempatan emas ini untuk menyusun kembali model CSR mereka.

Penulis berharap agar tulisan ini dapat dilanjutkan dengan riset-riset lapangan di masa mendatang untuk pengujian empiris.

Isu petani, kebutuhan petani, kebijakan pemerintah, model CSR

1. PENDAHULUAN

Sebagai entitas bisnis, setiap perusahaan dalam pengelolaannya tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh lingkungan bisnis eksternal. Sebaliknya, setiap keputusan bisnis dalam menjalankan usahanya juga akan berpengaruh pada lingkungan bisnis eksternal. Adanya saling mempengaruhi tersebut menuntut perusahaan untuk memasukkan elemen lingkungan bisnis dalam setiap pengambilan keputusan strategis perusahaan. Keputusan strategis diarahkan pada terbangunnya hubungan harmonis di antara perusahaan, pemangku kepentingan, dan lingkungan sekitar perusahaan. Harmonisasi tersebut menjadi salah satu variabel yang menentukan keberlanjutan dan pertumbuhan usaha perusahaan pada masa yang akan datang. Salah satu alat untuk mencapai harmonisasi tersebut adalah corporate social responsibility (CSR).

Corporate social responsibility telah cukup lama menarik perhatian banyak perusahaan, karena terbukti dapat mendukung keberlanjutan dari operasi perusahaan. Matten (2006) berargumen bahwa dalam situasi-situasi tertentu, CSR (dalam bentuk investasi filantropis) akan dapat menciptakan keunggulan bersaing jangka panjang bagi perusahaan. Selain itu, CSR dapat menyeimbangkan keragaman kepentingan dari para pemangku kepentingan. CSR menawarkan strategi dan alat untuk mengatasi isu dan tuntutan dari berbagai kelompok dalam masyarakat yang ditujukan pada perusahaan. Dengan CSR, perusahaan akan memeroleh berbagai solusi untuk menyelesaikan semua kepentingan kelompok-kelompok dalam masyarakat yang berbeda-beda dan solusi tersebut dapat diterima oleh semua pihak yang terlibat (Matten, 2006).

Istilah CSR di Indonesia semakin populer digunakan sejak tahun 1990-an. Beberapa perusahaan sebenarnya telah lama melakukan corporate social activity (CSA) atau aktivitas sosial perusahaan. Walaupun tidak menamainya sebagai CSR, secara faktual aksinya mendekati konsep CSR yang merepresentasikan bentuk peran serta dan kepedulian perusahaan terhadap aspek sosial dan lingkungan. Melalui konsep investasi sosial perusahaan seat belt, sejak tahun 2003 Departemen Sosial tercatat sebagai lembaga pemerintah yang aktif dalam mengembangkan konsep CSR dan melakukan advokasi kepada berbagai perusahaan nasional. Selain itu, CSR di Indonesia secara gencar dikampanyekan oleh Corporate Forum for Community Development (CFCD) pada tahun 2002 dan Indonesia Business Links (IBL) yang berdiri pada tahun 1998.

Kepedulian sosial perusahaan terutama didasari alasan bahwa kegiatan perusahaan membawa dampak bagi kondisi lingkungan, sosial, dan ekonomi masyarakat, khususnya di sekitar perusahaan beroperasi. Selain itu, para pemangku kepentingan sebagai pihak yang berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan atau pihak-pihak yang baik secara langsung maupun tidak langsung terkena dampak dari kegiatan perusahaan, bukan hanya terdiri dari para pemegang saham melainkan pula para pegawai dan keluarganya, pelanggan, pemasok, masyarakat sekitar perusahaan, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, media massa, serta pemerintah. Jenis dan prioritas para pemangku kepentingan relatif berbeda antara satu perusahaan dengan lainnya, tergantung pada bisnis inti perusahaan yang bersangkutan.

Di samping itu, menjadi kesepahaman umum bahwa CSR yang dilakukan di berbagai daerah memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Dengan demikian, CSR yang dilakukan oleh satu perusahaan dengan perusahaan lainnya juga akan ada perbedaan, di mana perbedaan tersebut tidak menimbulkan tingkat disparitas yang jauh antara kebutuhan masyarakat dan keinginan perusahaan itu sendiri untuk menjalankan CSR-nya. Dari berbagai literatur ditemukan bahwa setiap negara memiliki ciri khas dan karakteristik masyarakat yang berbeda sehingga kegiatan CSR yang diterapkan juga tidak sama. Sebagai contoh, kegiatan CSR di negara-negara Eropa atau Amerika dilakukan sesuai dengan kebutuhan masyarakat mayoritas di sana dan terkait dengan industri mayoritas. Demikian juga dengan negara Indonesia di mana sebagian besar penduduknya adalah petani sehingga sumberdaya alam yang lebih diolah juga terkait dengan pertanian, dan untuk itu program CSR yang tepat guna adalah di bidang yang kaitannya dengan pertanian. Selanjutnya, perlu dipikirkan model pertanian yang bagaimanakah yang dapat memberikan kesempatan pada masyarakat di sekitar perusahaan sesuai dengan kemampuan, baik dari sumberdaya alam maupun dari keahlian.

Dalam implementasinya, perusahaan bersama-sama masyarakat melakukan adaptasi-adaptasi yang merupakan bagian dari penguatan kegiatan yang berkelanjutan tersebut. Pro dan kontra dalam menentukan kegiatan yang sesuai dengan keinginan bisa menimbulkan perdebatan yang lama karena perbedaan persepsi antarpihak. Untuk itu, penentuan kegiatan atau program CSR hendaknya berdasarkan pada analisis kebutuhan (needs analysis) masyarakat, bukan keinginan mereka apalagi keinginan perusahaan. Di samping itu, perlu dipertimbangkan pula isu-isu yang beredar dan kebijakan pertanian di Indonesia sebagai masukan untuk perumusan program CSR. Dengan demikian, tulisan ini bertujuan untuk merancang sebuah model CSR yang berdasarkan pada isu dan kebutuhan kaum petani sebagai mayoritas penduduk Indonesia.

2. TINJAUAN TEORI
2.1 KONSEP CSR

Konsep Corporate Social Responsibility (CSR) mengalami perkembangan dari dekade ke dekade (Carrol, 1979: 497). Pada awal tahun 1930-an, Wendell Wilkie telah membantu para pelaku bisnis untuk merasakan tanggung jawab sosial. Berbagai literatur menyebutkan bahwa era modern CSR ditandai dengan publikasi tulisan Howard R. Bowen yang berjudul “Social Responsibility of the Businessman” pada tahun 1953. Setelah terbitnya buku tersebut, banyak peneliti membahas topik CSR tanpa adanya konsensus mengenai konsep CSR yang dimaksudkan.

Hasil penelitian Lee (2009) menunjukkan bahwa terdapat setidak-tidaknya empat perbedaan di antara konsep CSR pada era 1950 hingga 1960-an dengan periode 1990-an. Perbedaan meliputi tingkat analisis, orientasi teori, orientasi etika, dan hubungan di antara CSR dengan Corporate Social Performance (CSP). Tingkat analisis CSR hingga era 1960-an difokuskan pada aspek sosial-makro, sedangkan pada era 1990-an mengarah pada organisasional. Orientasi teori CSR pada era lama adalah membangun etika atau tanggung jawab yang kemudian berubah menjadi manajerial. Pada era 1950 hingga 1960-an, orientasi etika pada umumnya ditunjukkan oleh perusahaan secara eksplisit, namun pada era 1990-an cenderung hanya bersifat implisit. Selanjutnya, hubungan di antara CSR dan CSP pada era lama lebih eksklusif dan seringkali tanpa diskusi. Pola hubungan ini diperbaiki dan berlangsung dengan erat pada era 1990-an.

Suharto (2008: 1-2) mencatat bahwa dalam konteks global, istilah CSR mulai digunakan sejak tahun 1970-an dan semakin populer terutama setelah kehadiran buku “Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business” pada tahun 1998 yang merupakan karya dari John Elkington. Elkington mengembangkan tiga komponen penting pembangunan berkelanjutan, yakni pertumbuhan ekonomi, proteksi lingkungan, dan keadilan sosial. Ketiga komponen bersumber dari World Commission on Environment and Development (WCED) dalam Brundtland Report (1987). Elkington mengemas CSR ke dalam tiga fokus yang disingkat 3P, yaitu profit, people, dan planet. Perusahaan yang baik tidak hanya memburu keuntungan ekonomi belaka, melainkan memiliki pula kepedulian terhadap kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.

Untuk CSR sendiri menunjuk pada kewajiban perusahaan kepada masyarakat atau lebih spesifik kepada para pemangku kepentingan perusahaan, yakni mereka yang terpengaruh oleh kebijakan dan praktik perusahaan (Smith, 2003). Selain itu, menurut Bank Dunia, CSR dapat didefinisikan sebagai komitmen bisnis untuk kontribusi pengembangan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan karyawan dan wakil mereka, komunitas lokal dan masyarakat secara luas untuk meningkatkan kualitas kehidupan, yang baik untuk bisnis dan pengembangan (Swa, Desember 2005).

Walaupun terdapat banyak definisi CSR yang beredar di kalangan akademisi dan praktisi, namun hingga saat ini belum terdapat konsensus definisi atau definisi tunggal untuk CSR. Akan tetapi, dengan semakin banyaknya perusahaan yang berpartisipasi dalam perlombaan perolehan penghargaan-penghargaan CSR serta penerbitan laporan-laporan CSR dan pelatihan-pelatihan CSR Officers, maka tampak bahwa CSR itu lebih digerakkan oleh kesadaran ketimbang oleh paksaan, mengingat hukum CSR di Indonesia masih berada di zona abu-abu.

Kami Juga Menyediakan Produk – Produk Unggulan dibawah ini

Kacangan Jenis CM Berat 1 kg

kacang kacangan penutup tanah (legume cover crops) dengan berbagai jenis ini merupakan tumbuhan yang berfungsi sebagai pengikat nitrogen sehingga kadar kelembapan tanah akan tetap terjaga. Fungsi dan kestabilan kelembapan ini biasanya dibutuhkan pada masa pertumbuhan pohon karet dan pohon sawit atau sejenisnya dalam

Selengkapnya

Raja Latex Pluss – Solusi Meningkatkan Hasil Sadap Karet, Mati Getah, Kulit Keras Pada Batang Karet

Pengeluaran Getah disadap 2 x lipat atau 40 – 70 % dan meningkatkan kandungan getah kering dan yang mati getah atau kekeringan bisa normal karena ada kandungan vitamin 40 % yang tidak dimiliki obat poles selain Raja Latex Pluss dan enzim 48 %

Selengkapnya

Jual Benih Sawit Lonsum, PPKS, dan Socfindo

Dari segi imbal hasil, secara umum bisnis kebun sawit memberikan return yang jauh lebih besar dibandingkan dengan property rumah, kHUSUS bAGI ANDA YANG MENCARI BENIH SAWIT UNGGUL KAMI MENYEDIAKANNYA. Kami Menyediakan Benih Sawit Lonsum, PPKS, dan Socfindo

Selengkapnya

NPK HUMAGROW HUMID ACID : 6-30-6 PLUS SPesial Khusus Pupuk Karet Dan Sawit, dan Tanaman Lainnya

Kelebihan Pupuk NPK Humagrow yaitu : Memperbaiki Unsur Unsur tanah dan tanaman keras, yang bisa menghasilkan 2 kali lipat dari hasil sebelumnya 1. Memperbaiki dan meningkatkan dan membentuk pertumbuhan Akar yang kuat 2. Tanah lebih Remah dan lebih lama menahan air, sehingga 99 % pemupukan bisa diserap oleh tanaman, dan

Selengkapnya

Pupuk Organik Buah dan Sayuran Alphamien , Membuat Tanaman Lebih Sehat dan Energik Hasil Panen Meningkat,

Alphamien – Nutrisi Organik Cair, Membuat Tanaman Lebih Sehat dan Energik
Hasil Panen Meningkat, Ramah Lingkungan aman untuk manusia dan ternak, Manfaat :

Sayuran, buah dan tanaman hias/bunga menjadi lebih bercahaya dan sehat
meningkatkan mutu dan bobot hasil panen
menghilangkan residu pestisida yang menempel didaun bunga dan buah

Selengkapnya

Previous

Sawit Indonesia – Hari Buruh Menggeliat, Ekonomi Melambat




                                                                     Oleh: Sumarjono Saragih*

Selamat Hari Buruh! Merupakan perayaan ke 2 sejak pemerintah menetapkan 1 Mei sebagai Libur Nasional. Keputusan Presiden No 24 tahun 2013 tanggal 29 Juli 2013 menjadi momentum penting dalam perjuangan buruh nasional. Buah manis perjuangan panjang yang diawali dua abad lalu di Eropa dan Amerika dan kini dinikmati buruh di seluruh dunia termasuk Indonesia.

“Hari Buruh Menggeliat, Ekonomi Melambat” bukan untuk tujuan provokasi. Ini adalah fakta di hadapan kita. Hampir semua bisa melihat dan merasakan lesunya ekonomi. Daya beli masyarakat menurun dan sebaliknya biaya dan kebutuhan hidup meningkat. Dan pada saat yang sama, kaum buruh sangat intensif berjuang dan bahkan menuntut perbaikan banyak hal dan segera.

Di era globalisasi, setiap negara akan semakin sensitif dan akan mudah terpapar akibat gejolak di negara lain. Guncangan dan lompatan di berbagai belahan dunia seperti perang, krisis, perlambatan serta pertumbuhan ekonomi selalu datang dan pergi. Oleh karena itu, masing-masing negara harus dituntut selalu siap siaga untuk bertahan dan bertumbuh. Memacu daya saing secara terus menerus dan kreatif adalah keharusan.

Data World Economic Forum (WEF) 2015 mencatat, dalam peringkat daya saing global (Global Competitiveness Index) Indonesia berada di urutan ke 34 dari 144 negara. Masih di bawah Thailand (31), Malaysia (20) apalagi Singapura (2). Kita hanya sedikit unggul di atas Filipina dan Vietnam.

Bila dibedah lagi, dalam hal ketenagakerjaan, Indonesia tercecer di peringkat 110. Kita sering menjadikan kelimpahan jumlah tenaga kerja yang sekaligus menjadi potensi pasar besar sebagai alat promosi investasi. Bahkan kita sering setengah bangga bahwa upah buruh rendah dijadikan  keunggulan kita. Faktanya  tidak lagi  demikian hari ini. Lompatan besaran UMP (Upah Minimum Propinsi) beberapa tahun terakhir membuat upah kita tidak lagi murah. Apalagi, tanpa diiringi peningkatan kualitas dan produktivitas pekerja.

Namun fakta yang dipublikasikan WEF  membuat kita harus merenung kembali. Dibutuhkan sebuah terobosan besar untuk menaikkan peringkat ke level yang lebih “bermartabat”. Adalah sangat sulit dimengerti, kita terduduk di peringkat yang mungkin kita sendiri tidak percaya. Peringkat 110 dari 144. Tuntutan buruh yang masif dan kerap kali berujung anarkisme mengakibatkan situasi menakutkan dunia usaha.

Masih segar bagi kita, sepuluh tuntutan buruh: (1) naikan upah minimin 2015 minimal 30% dan revisi komponen kebutuhan hidup layak (KHL) menjadi 84 item, (2) menolak penundaan upah minimun, (3) jalan wajib pension bagi buruh mulai Juli 2015, (4) jalankan jaminan kesehatan dengan cara cabut Permenkes no 69 tahun 2013 tentang tarif dan ganti INA-CBG dengan free for service dan audit BPJS, (5) hapus alih daya atau outsourcing, (6) sahkan RUU PRT dan revisi UU Perlindungan TKI no 29 tahun 2000, (7) cabut undang-undang ormas dan ganti dengan undang-undang perkumpulan, (8) angkat pegawai dan guru honorer dan subsidi Rp1 juta untuk guru honorer, (9) sediakan transportasi publik dan murah untuk buruh, (10) jalankan program wajib belajar dan beasiswa untuk anak buruh hingga perguruan tinggi.

Sepertinya harus ada “revolusi” untuk mengangkat peringkat (indikator ketenagakerjaan) yang terkapar di peringkat 110 dari 144 negara. Meminjam istilah Presiden Jokowi, harus dimulai dari revolusi mental. Membangun kesadaran baru pada tiga pihak yang paling terdepan. Tripartit, yakni Pekerja, Pengusaha dan Pemerintah. Secara bahu membahu untuk meningkatkan daya saing tenaga Indonesia. Tenaga kerja Indonesia berarti manusia Indonesia. Jadi membangun manusia Indonesia, manusia seutuhnya dapat menjadi sebuah solusi.

(Lebih lengkap baca Majalah SAWIT INDONESIA Edisi Mei-Juni 2015)

 

Kami Juga Menyediakan Produk – Produk Unggulan dibawah ini

Kacangan Jenis CM Berat 1 kg

kacang kacangan penutup tanah (legume cover crops) dengan berbagai jenis ini merupakan tumbuhan yang berfungsi sebagai pengikat nitrogen sehingga kadar kelembapan tanah akan tetap terjaga. Fungsi dan kestabilan kelembapan ini biasanya dibutuhkan pada masa pertumbuhan pohon karet dan pohon sawit atau sejenisnya dalam

Selengkapnya

Raja Latex Pluss – Solusi Meningkatkan Hasil Sadap Karet, Mati Getah, Kulit Keras Pada Batang Karet

Pengeluaran Getah disadap 2 x lipat atau 40 – 70 % dan meningkatkan kandungan getah kering dan yang mati getah atau kekeringan bisa normal karena ada kandungan vitamin 40 % yang tidak dimiliki obat poles selain Raja Latex Pluss dan enzim 48 %

Selengkapnya

Jual Benih Sawit Lonsum, PPKS, dan Socfindo

Dari segi imbal hasil, secara umum bisnis kebun sawit memberikan return yang jauh lebih besar dibandingkan dengan property rumah, kHUSUS bAGI ANDA YANG MENCARI BENIH SAWIT UNGGUL KAMI MENYEDIAKANNYA. Kami Menyediakan Benih Sawit Lonsum, PPKS, dan Socfindo

Selengkapnya

NPK HUMAGROW HUMID ACID : 6-30-6 PLUS SPesial Khusus Pupuk Karet Dan Sawit, dan Tanaman Lainnya

Kelebihan Pupuk NPK Humagrow yaitu : Memperbaiki Unsur Unsur tanah dan tanaman keras, yang bisa menghasilkan 2 kali lipat dari hasil sebelumnya 1. Memperbaiki dan meningkatkan dan membentuk pertumbuhan Akar yang kuat 2. Tanah lebih Remah dan lebih lama menahan air, sehingga 99 % pemupukan bisa diserap oleh tanaman, dan

Selengkapnya

Pupuk Organik Buah dan Sayuran Alphamien , Membuat Tanaman Lebih Sehat dan Energik Hasil Panen Meningkat,

Alphamien – Nutrisi Organik Cair, Membuat Tanaman Lebih Sehat dan Energik
Hasil Panen Meningkat, Ramah Lingkungan aman untuk manusia dan ternak, Manfaat :

Sayuran, buah dan tanaman hias/bunga menjadi lebih bercahaya dan sehat
meningkatkan mutu dan bobot hasil panen
menghilangkan residu pestisida yang menempel didaun bunga dan buah

Selengkapnya

Previous

Sawit Indonesia – Hari Buruh Menggeliat, Ekonomi Melambat



Advertisements


                                                                     Oleh: Sumarjono Saragih*

Selamat Hari Buruh! Merupakan perayaan ke 2 sejak pemerintah menetapkan 1 Mei sebagai Libur Nasional. Keputusan Presiden No 24 tahun 2013 tanggal 29 Juli 2013 menjadi momentum penting dalam perjuangan buruh nasional. Buah manis perjuangan panjang yang diawali dua abad lalu di Eropa dan Amerika dan kini dinikmati buruh di seluruh dunia termasuk Indonesia.

“Hari Buruh Menggeliat, Ekonomi Melambat” bukan untuk tujuan provokasi. Ini adalah fakta di hadapan kita. Hampir semua bisa melihat dan merasakan lesunya ekonomi. Daya beli masyarakat menurun dan sebaliknya biaya dan kebutuhan hidup meningkat. Dan pada saat yang sama, kaum buruh sangat intensif berjuang dan bahkan menuntut perbaikan banyak hal dan segera.

Di era globalisasi, setiap negara akan semakin sensitif dan akan mudah terpapar akibat gejolak di negara lain. Guncangan dan lompatan di berbagai belahan dunia seperti perang, krisis, perlambatan serta pertumbuhan ekonomi selalu datang dan pergi. Oleh karena itu, masing-masing negara harus dituntut selalu siap siaga untuk bertahan dan bertumbuh. Memacu daya saing secara terus menerus dan kreatif adalah keharusan.

Data World Economic Forum (WEF) 2015 mencatat, dalam peringkat daya saing global (Global Competitiveness Index) Indonesia berada di urutan ke 34 dari 144 negara. Masih di bawah Thailand (31), Malaysia (20) apalagi Singapura (2). Kita hanya sedikit unggul di atas Filipina dan Vietnam.

Bila dibedah lagi, dalam hal ketenagakerjaan, Indonesia tercecer di peringkat 110. Kita sering menjadikan kelimpahan jumlah tenaga kerja yang sekaligus menjadi potensi pasar besar sebagai alat promosi investasi. Bahkan kita sering setengah bangga bahwa upah buruh rendah dijadikan  keunggulan kita. Faktanya  tidak lagi  demikian hari ini. Lompatan besaran UMP (Upah Minimum Propinsi) beberapa tahun terakhir membuat upah kita tidak lagi murah. Apalagi, tanpa diiringi peningkatan kualitas dan produktivitas pekerja.

Namun fakta yang dipublikasikan WEF  membuat kita harus merenung kembali. Dibutuhkan sebuah terobosan besar untuk menaikkan peringkat ke level yang lebih “bermartabat”. Adalah sangat sulit dimengerti, kita terduduk di peringkat yang mungkin kita sendiri tidak percaya. Peringkat 110 dari 144. Tuntutan buruh yang masif dan kerap kali berujung anarkisme mengakibatkan situasi menakutkan dunia usaha.

Masih segar bagi kita, sepuluh tuntutan buruh: (1) naikan upah minimin 2015 minimal 30% dan revisi komponen kebutuhan hidup layak (KHL) menjadi 84 item, (2) menolak penundaan upah minimun, (3) jalan wajib pension bagi buruh mulai Juli 2015, (4) jalankan jaminan kesehatan dengan cara cabut Permenkes no 69 tahun 2013 tentang tarif dan ganti INA-CBG dengan free for service dan audit BPJS, (5) hapus alih daya atau outsourcing, (6) sahkan RUU PRT dan revisi UU Perlindungan TKI no 29 tahun 2000, (7) cabut undang-undang ormas dan ganti dengan undang-undang perkumpulan, (8) angkat pegawai dan guru honorer dan subsidi Rp1 juta untuk guru honorer, (9) sediakan transportasi publik dan murah untuk buruh, (10) jalankan program wajib belajar dan beasiswa untuk anak buruh hingga perguruan tinggi.

Sepertinya harus ada “revolusi” untuk mengangkat peringkat (indikator ketenagakerjaan) yang terkapar di peringkat 110 dari 144 negara. Meminjam istilah Presiden Jokowi, harus dimulai dari revolusi mental. Membangun kesadaran baru pada tiga pihak yang paling terdepan. Tripartit, yakni Pekerja, Pengusaha dan Pemerintah. Secara bahu membahu untuk meningkatkan daya saing tenaga Indonesia. Tenaga kerja Indonesia berarti manusia Indonesia. Jadi membangun manusia Indonesia, manusia seutuhnya dapat menjadi sebuah solusi.

(Lebih lengkap baca Majalah SAWIT INDONESIA Edisi Mei-Juni 2015)

 

Kami Juga Menyediakan Produk – Produk Unggulan dibawah ini

Kacangan Jenis CM Berat 1 kg

kacang kacangan penutup tanah (legume cover crops) dengan berbagai jenis ini merupakan tumbuhan yang berfungsi sebagai pengikat nitrogen sehingga kadar kelembapan tanah akan tetap terjaga. Fungsi dan kestabilan kelembapan ini biasanya dibutuhkan pada masa pertumbuhan pohon karet dan pohon sawit atau sejenisnya dalam

Selengkapnya

Raja Latex Pluss – Solusi Meningkatkan Hasil Sadap Karet, Mati Getah, Kulit Keras Pada Batang Karet

Pengeluaran Getah disadap 2 x lipat atau 40 – 70 % dan meningkatkan kandungan getah kering dan yang mati getah atau kekeringan bisa normal karena ada kandungan vitamin 40 % yang tidak dimiliki obat poles selain Raja Latex Pluss dan enzim 48 %

Selengkapnya

Jual Benih Sawit Lonsum, PPKS, dan Socfindo

Dari segi imbal hasil, secara umum bisnis kebun sawit memberikan return yang jauh lebih besar dibandingkan dengan property rumah, kHUSUS bAGI ANDA YANG MENCARI BENIH SAWIT UNGGUL KAMI MENYEDIAKANNYA. Kami Menyediakan Benih Sawit Lonsum, PPKS, dan Socfindo

Selengkapnya

NPK HUMAGROW HUMID ACID : 6-30-6 PLUS SPesial Khusus Pupuk Karet Dan Sawit, dan Tanaman Lainnya

Kelebihan Pupuk NPK Humagrow yaitu : Memperbaiki Unsur Unsur tanah dan tanaman keras, yang bisa menghasilkan 2 kali lipat dari hasil sebelumnya 1. Memperbaiki dan meningkatkan dan membentuk pertumbuhan Akar yang kuat 2. Tanah lebih Remah dan lebih lama menahan air, sehingga 99 % pemupukan bisa diserap oleh tanaman, dan

Selengkapnya

Pupuk Organik Buah dan Sayuran Alphamien , Membuat Tanaman Lebih Sehat dan Energik Hasil Panen Meningkat,

Alphamien – Nutrisi Organik Cair, Membuat Tanaman Lebih Sehat dan Energik
Hasil Panen Meningkat, Ramah Lingkungan aman untuk manusia dan ternak, Manfaat :

Sayuran, buah dan tanaman hias/bunga menjadi lebih bercahaya dan sehat
meningkatkan mutu dan bobot hasil panen
menghilangkan residu pestisida yang menempel didaun bunga dan buah

Selengkapnya

Previous